SECANGGIH APAPUN PERALATAN DAN TEKNOLOGI TETAP SEBUAH ALAT

KOMPETISI TETAP HARUS TERJADI

KREATIVITAS MANUSIA YANG MEMBEDAKANNYA

ADA YANG MENANG DAN KALAH ITU BIASA

MAKNA HIDUP HADIR BILA KITA BERAKTIVITAS

Monday, January 19, 2009

Globalisasi Mal karya Qomar Sosa



Dunia yang Eror karya Qomar Sosa

Merdeka atau Ma...suk Kotak karya Qomar Sosa

Tergilas Zaman karya Qomar Sosa

Money Politic karya Qomar Sosa

Suara Rakyat Kecil karya Qomar Sosa

Wednesday, January 14, 2009

Jangan Salahkan Rupiah Meraung karya Tiyok

Ngumpetlah Kau Akan Kutangkap karya Tiyok

Thursday, January 1, 2009

Tentang Lomba Kartun




Oleh Darminto M Sudarmo


Catatan empat tahun lalu yang tersisa dan perlu diagenda. Setelah negeri ini agak lama vakum dan tak ada kegiatan seminar, pameran atau lomba kartun, pada awal Februari 2004, Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu) mendapat peluang berseminar dan pameran kartun di Habibie Center, Jakarta. Disusul kemudian Lomba Karikatur “Journalism Award 2”, 26 Juni 2004, dengan tema: narkoba. Makin menarik, ternyata kemudian muncul pula “Kompas Karikatur dan Karikata Award” dengan tema: capres dan cawapres, yang finalnya diumumkan sebelum berlangsungnya pemilu presiden putaran pertama, dan dipamerkan di Bentara Budaya, Jakarta, mulai 23 Juli 2004.
Di luar dugaan, di antara selang-seling waktu itu, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), juga memberikan penghargaan Jurnalistik Adinegoro untuk bidang karikatur; padahal yang sudah-sudah, penghargaan sejenis dilangsungkan pada area waktu bulan Februari. Tetapi, namanya penghargaan, makin cepat diberikan, tentu saja makin baik. Masih di selang-seling waktu yang asyik itu, Jango Paramatha, melakukan pameran kartun tunggal di Sanur, Bali, 9 Juli hingga 25 September 2004. Sergapan fenomena kartun di bulan-bulan pesta politik ini sungguh sangat tumben namun jelas itu menggembirakan.
Makin menggembirakan lagi, kegiatan seputar kartun, khususnya tentang lomba kartun, iming-iming hadiahnya kini tak lagi mau kalah dengan lomba seni lukis atau seni rupa lainnya. Setidaknya jumlah angkanya sudah mencapai 8 digit. Bahkan salah satu penyelenggara ada yang memberikan hadiah dengan angka dimulai dari 20 disusul 6 digit angka berikutnya. Heboh banget, deh, pokoknya. Tak mau kalah sama hadiah kuis via SMS atau televisi. Semoga ini pertanda bahwa apresiasi masyarakat terhadap karya kartun makin serius dan meningkat.
Akan halnya lomba kartun itu sendiri, hampir seperti lomba-lomba seni lain, yang hasil finalnya seringkali berujung pada “kontroversi”; ada pihak yang puas dan ada pihak yang kurang puas. Risiko semacam ini sesungguhnya sudah terantisipasi, karya seni memang rentan dilombakan. Mungkin menarik ucapan WS Rendra, tak ada nomor satu, dua atau tiga dalam karya seni. Memuai atau susutnya nilai, mudah terjadi karena konteks dan perbedaan ruang-waktu. Tetapi, kalau hanya risiko kontroversi hasil final penjurian lalu penyelenggara kapok dan enggan ambil bagian, betapa sepinya dunia kreativitas kita.
Ada upaya sementara penyelenggara lomba agar terlindung dari gempuran kontroversi itu lewat deklarasi versi. Artinya, hasil final dari lomba yang diselenggarakannya semata-mata karena capaian berdasarkan atas versi. Bila ada yang tidak setuju, pihak yang tidak setuju itu dapat membuat versi tersendiri. Di zaman film Indonesia rada heboh dan marak, ada penyelenggara atau pemberi penghargaan yang menamakan diri FFI (Festival Film Indonesia); karena hasil versi ini kurang memuaskan sejumlah pihak, akhirnya forum intelektual dan budayawan di Bandung membuat FFB (Festival Film Bandung). Di seni lukis ada Philip Morris Award, lalu disusul Indofood Art Award. Di seni kartun, di tingkat internasional saja ada tak kurang dari 25 penyelenggara lomba kartun; ramai, kan?. Ini terasa lebih fair dan melegakan. Tidak harus mutlak-mutlakan. Mana yang reputasinya diakui dan kredibel, biarkan saja masyarakat yang akan menilai sendiri.
Kembali ke lomba kartun, dengan mencanangkan versi, maka kemudian dilahirkanlah kriteria atau parameter tentang baik-buruk, cocok-tidak cocok, yang butir-butirnya merupakan akomodasi dari keinginan tema yang dipilih dan misi serta visi penyelenggara. Dari latar belakang pemikiran demikianlah kemudian muncul strategi rada-rada galak: keputusan juri bersifat final, mengikat dan tak dapat diganggu gugat, agar penyelenggara terhindar dari tetek-bengek urusan merepotkan setelah lomba. Tetapi namanya saja kontroversi, tetap saja ia gemar merembeskan dan mengimbaskan kabar ke saluran yang dapat dimasuki.
Untuk menyiasati hal-hal yang kurang mengenakkan tersebut, sebenarnya ada cara yang lebih simpatik dan tidak terkesan galak; yakni memberi peluang kepada khalayak untuk komplain. Maksudnya, pada hari diumumkannya para pemenang, masyarakat diberi waktu seminggu atau 10 hari untuk melakukan protes atau komplain dengan membawa bukti-bukti yang memadai. Apakah itu menyangkut orisinalitas karya, otentitas peserta lomba, kesesuaian kategori dan lain-lain. Setelah rentang waktu yang diberikan itu ternyata berlangsung mulus dan aman, maka keputusan juri bersifat final, mengikat dan tak dapat diganggu gugat.
Godaan hadiah yang besar dalam lomba seringkali membuat peserta lomba rada-rada berani menabrak etika. Ini satu hal; hal lain yang tak dapat diabaikan adalah profesionalitas para juri. Selain penilaiannya berbasis selera (subyektif normatif), mereka juga dituntut memiliki wawasan yang memadai tentang bidang yang dilombakan tersebut; artinya mengenal karya-karya yang pernah beredar di masyarakat luas (bahkan, lintas negara dan bangsa – karena peredaran kartun cepat mendunia), sehingga hasil keputusan mereka sesuai dengan “rasa keadilan komparatif” atas karya-karya yang ada sebelumnya.
Penilaian berbasis subyektif normatif, dapat terlihat dari kecenderungan juri yang berbeda-beda; ada yang lebih suka kartun simbolik; contoh pemenang “Journalism Award 2”, yang berjudul Mati Sengsara ala Narkoba, divisualkan lewat jam pasir kuno; orang-orang yang berada dalam kubangan narkoba letaknya di atas, kemudian tubuhnya turun mencair seperti pasir dan berubah menjadi tengkorak dengan tulang berserakan. Demikian pula pemenang “Kompas Karikatur Award”, yang menggambarkan kursi presiden diinfus moral.
Simbol jam pasir kuno rasanya kurang akrab bagi bangsa Indonesia, tapi karena ini simbol yang efektif untuk pesan tersebut, maka juri berkeyakinan masyarakat Indonesia, tahu maksudnya. Ada pula juri yang menyukai kartun nonsimbolik; kartun yang teknik penggarapannya dilakukan lewat pendekatan sosial-budaya. Di salah satu penyelenggara lomba tingkat internasional, digambarkan dalam dua frame. Frame pertama, sebelum pemilu, terlihat “Capres dan Cawapres” menyembah rakyat. Frame kedua, setelah pemilu, terlihat rakyat menyembah “presiden dan wakilnya”.
Penilaian berbasis rasa keadilan komparatif, terutama mengingat laju peredaran kartun benar-benar sudah satu ruang: internasional; apalagi dengan adanya internet, siapa kebetulan punya ide sama dengan siapa, siapa mengekor siapa, siapa mengembangkan ide siapa, siapa mencuri ide siapa, semua-muanya itu nyaris telanjang habis. Oleh karena itu kata originalitas karya itu seperti sebuah kata yang kerap kali disindir oleh ungkapan: tak ada yang baru di bawah matahari, man! Dan kenyataannya, tema-tema lomba kartun boleh yang ndakik-ndakik sampai yang sederhana persaja, tetapi, pada akhirnya tetap digarap dan diwujudkan dalam bentuk: karya! Di sinilah saling pengaruh dan mempengaruhi, saling memberi dan terinspirasi, terjadi. Apalagi di dunia kartun, yang kedudukan ide atau gagasannya setingkat di atas joke (karikata?), dan unsur public domain-nya cukup dominan.
Tema-tema ndakik yang acapkali dipilih penyelenggara seperti: perdamaian dunia; manusia dan lingkungannya; dan lain-lain memang dapat membuat efek hasil lomba yang beda dengan tema-tema sederhana seperti: air; angin; api dan lain-lain. Namun secara garis besar, dapat dilihat kecenderungan juri dalam menilai. Di Eropa misalnya, juri cenderung memilih karya yang idenya rumit, susah dimengerti dan kadang sublim; sedangkan di Jepang atau Korea Selatan, lebih memilih karya-karya yang komunikatif dan mudah dimengerti.
Sementara di Indonesia, ada juri tertentu yang lebih condong ke mazhab simbolik tapi komunikatif dan sebagian lain ada yang condong ke mazhab pendekatan sosial-budaya. Masuknya juri dari bidang nonkartun, sebenarnya dapat makin menambah lengkapnya sudut pandang persoalan dan tinjauan, namun kelemahan mereka (kalau ada) pada terminologi komparasi atas karya-karya yang ada sebelumnya. Jangan-jangan, karena Jepang tak menganggap kartun sebagai urusan sepele, maka di negeri tersebut ada profesi yang namanya rada-rada ngagetin: sejarawan kartun (cartoon historian); nah, mari kita kaget bersama-sama!

Darminto M Sudarmo, penulis dan pengamat humor.


AyuWage Services - Get Paid to Visits Sites and Complete Surveys