SECANGGIH APAPUN PERALATAN DAN TEKNOLOGI TETAP SEBUAH ALAT

KOMPETISI TETAP HARUS TERJADI

KREATIVITAS MANUSIA YANG MEMBEDAKANNYA

ADA YANG MENANG DAN KALAH ITU BIASA

MAKNA HIDUP HADIR BILA KITA BERAKTIVITAS

Friday, December 30, 2011

Jitet Koestana Menjadi Juri di Lomba Iran Cartoon


Prakata:
Kabar burung yang saya terima itu ternyata benar-benar nyata, pertengahan Desember 2011,  Jitet Koestana dapat kesempatan menjadi Juri Lomba Iran Cartoon. Ini jelas kabar baik buat Indonesia. Lebih-lebih buat dunia perkartunan Indonesia. Bagi yang belum sempat baca, mudah-mudahan tulisan ini ada gunanya.
Tulisan ini saya buat antara tahun 1996-1998; telah saya coba kirim ke Kompas (tidak dimuat); ke Suara Merdeka  (tidak ada kabar dimuat atau ditolak); tetapi sebagai peminat kartun dan kartunis, saya tetap menyimpan tulisan tersebut dan melihat bakat besar yang dimiliki Jitet Koestana; saya tetap berkeyakinan, bahwa suatu saat tulisan ini pasti ada gunanya. Apa yang dicapai Jitet, pada akhirnya dapat kita evaluasi bersama. Bagi kartunis yang saat ini sedang gigih merintis karier, semoga dapat melihat militansi dan etos kerja yang dimiliki Jitet, sebagai salah satu model orang tekun yang konsisten pada pilihannya. Semoga bermanfaat. Selamat membaca!




Oleh Darminto M. Sudarmo

JITET KOESTANA itu kasus. Kalau kemudian ia mendapat penghargaan dari MURI (Museum Rekor Indonesia) sebagai kartunis Indonesia pemenang lomba internasional terbanyak, itu juga kasus. Mencari satu orang saja di antara seribu anak muda yang seperti dia, juga tak gampang. Kalau boleh sedikit berkilas balik, rekan Yehana SR dan saya sempat menjadi saksi langsung bagaimana Jitet memulai semuanya itu; memulai keberaniannya mengambil keputusan untuk menjadi seorang kartunis. Sejak dia masih malu-malu dan agak takut menunjukkan karya kartunnya, hingga ia tak pernah capek untuk bertanya ini itu, hingga sayapnya tumbuh dan ia terbang lepas menjelajah waktu dan proses.
Tapi tunggu dulu. Kalau orang menyaksikan bakatnya yang luar biasa, kemauan belajarnya yang edan-edanan, etos kerjanya yang mendebarkan, orang baru menyadari bahwa semua yang diperolehnya, adalah sesuatu yang memang sudah semestinya. Bagi saya pribadi -- tanpa mengurangi rasa hormat dan salut pada MURI -- bahkan, penghargaan kali ini pun bisa dibilang agak terlambat; tapi untunglah, Jitet tipe orang yang agak masa bodoh dengan fluktuasi apresiasi. Ia asyik dalam suasana "up and down", naik turun gunung pencarian gagasan dan selanjutnya "kesurupan" dalam ajang pertempuran kreasi antar kartunis dunia. Termasuk, organisasi semacam Pakarti (Indonesia Cartoonist Association), yang seharusnya menjadi lembaga paling awal memantau radar prestasi kartunis Indonesia (terlepas si kartunis menjadi anggota atau tidak), hanya mengapresiasi kenyataan itu dengan abstrak. Saya sering bertanya-tanya dalam hati, mengapa? Apa karena Jitet (lahir di Semarang, 4 Januari 1967) masih terlalu muda dan karena itu belum bisa masuk dalam peta apresiasi "serius"? Kalau itu persoalannya, bukankah ia makin hebat, karena di usia semuda itu ia telah duduk sejajar dalam barisan kartunis senior kelas dunia?
 Tapi, tidak benar juga, itu. Pasti hanya asumsi-asumsi saya yang buta. Keputusan MURI untuk memberikan penghargaan padanya, tentulah muncul setelah melewati pertimbangan-pertimbangan yang matang. Perlu ada kesabaran menunggu datangnya kebenaran. Dan setelah kebenaran benar-benar datang, baru bisa dirasakan nikmatnya penghargaan itu. Semoga Jitet tetap menjadi Jitet; supaya semangatnya tetap terjaga, supaya sikap keseniannya tidak berubah. Supaya ia bisa menjadi inspirator bagi calon-calon kartunis lainnya.
 Dan sebagai catatan yang sangat khusus, satu hal yang paling mengagumkan dari anak muda ini, bagi saya, adalah kemampuannya menjaga kondisi -- jiwa-raga -- untuk selalu asyik dan nikmat pada bidang yang ditekuninya. Inilah kunci daya hidup Jitet. Seperti anak-anak yang terus asyik dan mengasyiki mainannya. Begitulah. Lomba kartun demi lomba kartun dia ikuti. Dia jelajahi. Di sudut dunia yang mana pun; meski membutuhkan biaya perangko untuk pengiriman seberapa mahal pun, tetap dia penuhi. Hasilnya: kecewa dan senang datang silih berganti. Biasa. Itulah dinamikanya. Suka duka menjadi peserta lomba kartun internasional.

Lomba-lomba Internasional
Sejujurnya, di Indonesia, pameran atau acara yang berkaitan dengan kartun tergolong jarang. Ada memang, satu atau dua lomba/pameran diadakan. Selebihnya, agak sepi. Beda dengan seni lukis, misalnya. Dalam satu pekan saja, masyarakat dapat menikmati berbagai pameran yang diselenggarakan di berbagai tempat di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia. Tetapi anehnya, di lingkungan yang lebih luas, misalnya di tingkat internasional, isu seni kartun justru tampak sangat meriah.
Lihat saja. Setiap tahunnya, rata-rata hampir tidak pernah berhenti berbagai negara, seperti: Jepang, Korea, Italia, Iran, Turki, Belgia, Bulgaria, Australia, dan lain-lain -- menyelenggarakan festival atau lomba di bidang seni kartun dengan tema yang selalu berganti-ganti dan hadiah yang sangat menggugah.
Ada beberapa lembaga penyelenggara yang cukup menggoda dan dianggap prestisius oleh para kartunis, di antaranya: The Yomiuri International Cartoon Contest, Jepang; The Seoul International Cartoon Festival, Korea Selatan; dan Wereld Kartoenale Konkke-Heist, Belgia. Bahkan, untuk Yomiuri Shimbun, yang sering dibanjiri peserta hingga tak kurang dari 6.000 kartunis dari berbagai negara, menyediakan hadiah, kategori Grand Prize, sebesar 20 juta yen setiap periode-nya. Sementara itu, masih tersedia berbagai hadiah lain (Hidezo Kondo Prize, Excelent Prize, dan seterusnya) yang nilai hadiahnya makin mengecil sesuai dengan tingkatan kategorinya.

Memenangkan Medali Emas di Korea
Dalam putaran ketujuh lomba kartun sedunia yang diadakan oleh The Seoul International Cartoon Festival tahun ini, Jitet, memenangkan Medali Emas (Gold) untuk kategori "Art" (seluruhnya ada lima kategori bergengsi: Grand Prize, Message, Art, Humor dan Journalism). Sekaligus ia menang di kategori Winning dan satu-satunya peserta dari Indonesia yang berhasil lolos dari ribuan peserta lainnya.
Bagi Jitet, kemenangan lomba ini tentu bukan hal baru. Tahun-tahun sebelumnya -- bahkan yang terbaru ini, dalam festival kartun internasional di Kyoto, karya Jitet memperoleh penghargaan dari koran terbesar di Jepang, Asahi Shimbun -- ia banyak menghiasi kerja kerasnya dengan kemenangan, baik di tingkat nasional maupun internasional. Tahun 1990, ia menjadi Juara Pertama Lomba Kartun Nasional versi Tabloid Bola; 1991, Juara Kedua, Silver Plaquette pada lomba World Cartoon Gallery Skopje, Yugoslavia (Macedonia) dan meraih Excelent Prize pada The Yomiuri International Cartoon Contest; 1993, memperoleh Excelent Prize dan Honorable Mention pada lomba di Yomiuri, Jepang; 1994, memperoleh tiga kejuaraan sekaligus; yakni Juara Kedua Lomba Kartun Nasional versi Tabloid Bola; The Best Cartoon of Nippon pada International and Cultural Affairs Division Planning Department, Jepang dan Honorable Mention pada The 3rd Taejon Expo International Cartoon Contest, Korea Selatan.
 Ada pengalaman menarik, kemenangan lombanya di Yugoslavia, ternyata punya buntut yang kurang mengenakkan. Sampai dengan batas waktu yang dijanjikan, hadiahnya tak kunjung sampai di tangan. Saat itu situasi sosial politik di Yugo memang sedang dilanda kekisruhan. Ketika hadiah itu ditanyakan kepada panitia, ia mendapatkan jawaban bahwa panitia sudah berupaya keras untuk mengirimkan hadiah itu, tapi bank-bank dari seluruh dunia memblokir pengiriman itu; akhirnya, panitia tetap menyiapkan hadiahnya jika Jitet mau datang sendiri mengambilnya. Tentu saja Jitet hanya ketawa.

Siapa Jitet Koestana
Mungkin hanya sedikit orang yang mengerti kegelisahannya. Ia dilahirkan di Semarang 31 tahun lalu. Ia tidak memperoleh pendidikan formal seberuntung kawan-kawan lainnya. Ia bahkan pernah bekerja membantu ayahnya sebagai penjual buku loak. Tapi Jitet adalah pribadi yang di dalam dirinya memiliki kegelisahan terus menerus.
Lewat buku-buku loak dan media cetak lain yang dibacanya saat ia menunggui dagangannya itulah, ia mulai tertarik pada kartun. Sejak itu, ia mencoba-coba mencorat-coret di kertas. Mencoba-coba sendiri. Lalu, tanpa pernah bosan ia bertanya kepada orang-orang yang dianggapnya mengerti dan bisa dijadikan sebagai sandaran referensi.
 Tahun 1987, setelah ia berkenalan dengan Yehana SR, waktu itu menjadi Ketua SECAC (Semarang Cartoons Club), perkembangan Jitet mulai tampak. Dan dalam waktu tak lebih dari tiga tahun, ia melesat bagai anak panah. Ia berkarya seperti orang kesetanan. Setiap malam, ia biasa menggambar dengan cara lesehan di lantai; sebelah kakinya dia senderkan ke dinding, lalu keasyikan sampai dini hari; setelah tidur sebentar, ia bangun. Usai keperluannya rampung, ia masuk kerja. Ia pernah bergabung dengan sebuah harian di Semarang, dan dua penerbitan di Jakarta; dan kini, tampaknya ia merasa lebih sreg sebagai kartunis lepas di sebuah tabloid dan beberapa penerbitan lain.

Beban Kartun
Menyimak karya-karya Jitet tidak selalu mudah bagi awam. Di benaknya, kadang terlalu banyak "dibebani" pesan-pesan filsafat. Tak aneh, ia memang menyukai bacaan-bacaan "berat" dan olah batin. Tetapi bila disimak lebih seksama, maka kita akan diajak berdialog tentang sesuatu yang bukan sekadar ha-ha-hi-hi dan pengobral tawa belaka. Salah satu kartunnya yang dimuat di katalog lomba di Belgia mengungkap dua orang pelari yang posisinya saling berseberangan dan dalam keadaan berjongkok, siap lari.
Keduanya bertubuh kurus kering dan di tengah-tengah tersedia makanan lezat, sebagai hadiah. Seorang laki-laki, perlente berdiri sambil memegang pistol siap menembakkan aba-aba. Laki-laki itu tampak sedang sangat gembira menyaksikan tontonan "memilukan" yang ada di depan matanya.
 Ide tersebut di atas, bisa saja diproyeksikan pada situasi semangat "maniak" negara-negara maju/pemberi donor yang memperlakukan negara-negara miskin, sebagai obyek "klangenan" mereka. Bisa pula dihubungkan dengan situasi yang lain lagi. Dan salah satu kartunnya yang berjudul "Bom Atom Bunga" yang memenangkan lomba kartun internasional di Korea Selatan itu, sangat tampak kalau dijiwai semangat perdamaian dan harmoni. Dengan kata lain, kalau toh terjadi sengketa antarnegara, antarbangsa, lalu situasinya berkembang memanas dan masing-masing negara tak lagi sanggup menguasai diri; tombol pun dipencet. Tapi ketika bomnya meledak, bukan zat radio aktif yang menghambur, melainkan bunga yang harum dan elok dipandang. Begitulah penjelasan Jitet tentang karyanya.
Darminto M Sudarmo, pengamat humor, lawak dan kartun.

Tidak Ada yang Ujug-ujug Langsung Berhasil




Perkenalkan nama saya Jitet Koestana. Saya lahir di Semarang, Jawa Tengah, 4 Januari 1967. Kata orang sih, nama saya Koestana saja. Tetapi kata saya, ada tambahannya Jitet. Kalau nama pop artis-artis biasanya serba glamor dan keren, nama pop saya justru Jitet. Anda tahu apa artinya Jitet? Dalam bahasa Jawa jitet artinya mlithut. Kalau ada baju atau celana yang lobang atau sobek, karena tak ada kain lain yang mirip, maka karena tak sabar, biasanya langsung ambil jarum dan benang untuk dijahit secara militer, eh, paksa, maka hasilnya baju atau celana itu jadi mlithut karena dijitet.

Beda dengan para artis yang memang dibuatkan nama pop oleh produser, saya justru memakai nama Jitet memang sejak dari awal berlatih menggambar kartun. Biar Jitet artinya rada katro seperti di atas, tetapi saya sangat cocok dengan nama ini. Bahkan mungkin justru dengan nama ini pula Tuhan memberikan banyak anugerah dan kemudahan bagi saya. Maka saya sangat bersyukur dengan nama yang sederhana tersebut.
Berbeda dengan banyak kartunis lain, memulai segalanya dengan bekal pengetahuan yang memadai, saya justru memulai dari keadaan yang serba kurang. Kurang secara pengetahuan, biaya, apalagi jaringan. Meskipun demikian saya sama sekali tidak menyesal.Saya bersyukur berlatih menggambar kartun secara otodidak, menambah pengetahuan secara otodidak, bergaul dan menempa diri secara otodidak, ternyata Tuhan memberikan jalan yang lapang, meskipun pada awalnya sangat berat dan banyak sekali tantangannya.
Saya ingat sekali, pada suatu ketika salah seorang senior saya memberi saran, untuk dapat membedah dan membuka rahasia dunia dan alam semesta sehingga kita jadi tahu siapa kita dan di mana kita, lalu mau apa kita, ke mana kita menuju, caranya tidak sulit, cukup dengan membaca buku. Khususnya buku-buku filsafat. Karena kata para ahli, filsafatlah yang akan membongkar kontruksi ilmu pengetahuan di dunia secara radikal. Mempertanyakan segala teka-teki secara menyeluruh dan tanpa ampun.
Buku-buku itu pada akhirnya membuat mata saya terbuka. Betapa benar ungkapan yang mengatakan buku itu jendela dunia. Senior saya itu sering mengatakan, apa sih sebenarnya yang dilakukan orang-orang sekolahan? Mereka disuruh membaca, menghafal atau menganalisa buku-buku yang wajib dibacanya kemudian meringkas atau menjalani test sampai seberapa jauh mereka memahami isi yang ada dalam buku itu? Begitulah ritualnya. Dari zaman baheula sampai sekarang. Tradisi itu tidak pernah berubah. Kalau hanya menjalani itu, mengapa harus melewati upacara masuk sekolah dulu, sesuai jenjang dan sekian banyak barikade, sehingga banyak waktu terbuang. Mengapa bila orang sudah dapat membaca dan menulis tidak boleh memilih sendiri buku-buku yang ingin dibacanya?
Dalam kehidupan sehari-hari, kaitannya dengan tekanan batas waktu dalam pekerjaan bagi ilustrator atau kartunis yang harus selalu segar dalam gagasan, buku-buku, apalagi ilmu filsafat yang pernah kita cerna, kontribusinya sangat besar. Bahan-bahan itu seperti sebuah deposit, seperti tabungan, ketika kita dalam keadaan terdesak dan membutuhkannya, dengan sangat refleks mereka datang sendiri memberi bantuan bagi gagasan kita. Seperti situasi yang ajaib, tetapi sesungguhnya sangat wajar. Dalam hal ini, memang kita tak mungkin bisa memberi yang kita tidak punya. Begitu pula dengan ide. Jangan harap kalau kita tidak pernah nabung lalu enak-enak aja narik duit dari ATM pada saat kehabisan duit padahal saldo kita kosong. Begitulah, kehidupan ternyata sangat adil dan rasional!
Setiap ditanya bagaimana semua ini bisa terjadi, saya selalu menjawab dengan bahasa saya, “Tidak ada yang sulapan dan ujug-ujug langsung menjadi kartunis berhasil. Semua dimulai dari kerja keras dan semangat juang tak kenal menyerah!”
 Begitulah, ternyata omongan saya kamso banget, ya? Tak apa. Mau cerita yang lebih kamso? Saya punya. Ini dia.
Wah, menyebut-nyebut kata kamso rasanya bikin malu aja. Sepertinya kok saya sibuk memuji diri sendiri. Tapi apa boleh buat; nyatanya kamso itu memang indah he he he. Begini. Pada tahun yang telah lewat, saya pernah bekerja sebagai pengrajin fibreglass. Tugas saya membentuk gantungan kunci atau plakat yang sebelumnya masih kasar (ketika dikeluarkan dari cetakan) untuk kemudian dihaluskan. Memang untuk dapat mewujudkan itu diperlukan ketelitian dan ketekunan. Setelah proses penghalusan selesai, akan diperoleh sebuah kreasi indah meski hanya sebuah gantungan kunci. Proses penghalusan itu dimulai dari menggerenda, mengamplas, dan memoles dari sebuah resin cetakan yang tadinya cuma kotak. Pada saat melakukan penggerendaan selalu keluar debu yang kadang tampak seperti kabut, kalau menempel di kulit susah sekali menghilangkannya. Ini yang bikin pusing; padahal sudah mandi dan pakai sabun segala ( seperti orang luluran dengan kapur).
Dari debu yang menempel di kulit itulah yang sekarang memberi kenangan begitu mendalam bagi saya.
Suatu hari saya dan teman sekerja hendak makan siang karena perut sudah tak bisa ditahan lagi. Saya sekadarnya saja membersihkan debu fiber yang menempel di tubuh. Kami pun berangkat dan mampir di sebuah rumah yang mirip warung nasi. Dari dalam rumah muncul seorang wanita yang lalu nyeletuk, “Wah sanese mawon, Mas.” (Tempat lain aja, Mas) ucapan yang umum digunakan di Semarang untuk mengusir pengemis.
He he he.....kami pun maklum karena memang penampilkan kami yang terlihat kumuh dan berdebu, jadi wajar kalau dikira pengemis.
Dengan malu-malu laper kami pun ngeloyor pergi, karena rumah itu pun ternyata juga bukan rumah makan! Juga pernah suatu hari saya sangat mengharapkan kehadiran wesel hasil dari menggambar kartun yang telah dimuat di sebuah media; tapi harapan itu tak terpenuhi, karena dari pagi hingga sore, tak ada pak pos yang nongol.Akibatnya, dari pagi hingga sore hari tak sebatang rokok pun terisap. Karena tak tahan dengan asamnya mulut, maka saya pun melakukan apa yang paling mungkin saya lakukan. Kebetulan di rumah ada gitar; kebetulan pula saya bisa nyanyi walau tak merdu-merdu amat; dan kebetulannya lagi, saya dianugerahi nyali.
Maka pada sore itu saya jadi penyanyi. Bukan jadi bintang Indonesian Idol, atau artis akademi fantasi, tapi jadi pengamen. Satu keinginan saya sederhana saja, yaitu sebungkus rokok. Dengan harapan kuat dan tekat bulat, saya pun nyanyi dari rumah ke rumah. Ada yang memberi, tapi ada yang tidak. ada yang memberi sedikit, ada pula yang banyak. Hasilnya? Tentu saja duit recehan. Tapi bukan itu saja, yang mengagetkan hasilnya lebih dari yang saya harapkan. Saya tak hanya mampu membeli rokok, tapi juga mie rebus dan makanan gorengan. Masih ada sedikit sisa uang lagi buat besoknya, ....asyiiik!
Demikian sebagaimana diceritakan kepada penulis.
Darminto M. Sudarmo


AyuWage Services - Get Paid to Visits Sites and Complete Surveys