Begitu
banyak orang menulis tentang Pramono.
Baik ia sebagai karikaturis (political
cartoonist), pelukis wajah “lucu” (caricaturist),
maupun sebagai individu. Koran, majalah, buku, website, TV, telah berkali-kali
menyiarkannya. Ada yang mengulas secara selintas pandang, namun tak kurang pula
yang mengupas secara runtut, lengkap dan mendalam.
Agar tidak bingung
dengan sebutan apakah dia seorang political
cartoonist (di Indonesia telah salah
kaprah disebut sebagai karikaturis) atau
caricaturist (di dalam konteks sosio-budaya aslinya
diartikan sebagai pelukis atau penggambar wajah lucu atau plethat-plethot) dan sebagainya; selanjutnya, kita sebut saja Pramono
sebagai kartunis atau pekartun.
Istilah ini lebih fleksibel untuk sosok Pramono yang selain andal sebagai
kreator kartun opini dan kartun editorial, penggambar wajah lucu, juga sebagai
ilustrator bergaya kartunal.
Dari seluruh
perjalanan kreatif Pramono (lahir di Magelang, Jawa Tengah, 5 Desember 1942; Bergabung dengan Harian Sinar Harapan tahun 1967), ada benang
merah yang konsisten dan menonjol dari kredo kartunis ini, kesantunan dan
kehalusan kritiknya. Orang Jawa menyebut pilihan humornya itu bergaya Guyon Parikena. Nakal dan mencubit
memang, namun tetap dalam koridor tata nilai budaya yang melekat secara built in dalam dirinya, yaitu budaya
Jawa. Tidak meledak-ledak, tidak insinuatif dan provokatif, tidak juga asal
hantam kromo sehingga terjebak dalam justifikasi yang membuat sebuah karya
kartun larut menjadi poster dan kehilangan kontemplasinya. Karena itulah,
pendekatan paling sering dilakukan Pramono dalam menyikapi berbagai fenomena
yang menonjol dalam masyakarat maupun negara senantiasa bermain dalam lambang
dan simbol. Dia memperlakukan simbol layaknya seorang penyair meremas dan
mengeksplorasi kata. Menyelam dalam kedalaman makna lalu mengantarkan dan
menyajikannya lagi dalam diskursus yang baru. Itulah kenakalan dan keusilannya,
sekaligus ajakan kepada pembaca/penikmat karyanya untuk berani merenung dan
berpikir!
Pilihan Pramono bukannya tak menuai
risiko dan konsekuensi. Bagi pembaca atau penikmat yang sangat awam dengan
lambang dan simbol, bisa saja mereka keponthal-ponthal
(kerepotan) memahami makna dari karya-karyanya; meskipun dalam banyak kasus,
kita melihat Pramono cukup arif mempertimbangkan risiko-risiko itu dengan
memilih lambang atau simbol yang notabene telah popular atau dipahami oleh
pembaca heterogen.
Dua arus besar yang menonjol sebagai
pilihan seorang kartunis dalam menyajikan karyanya dapat ditandai dalam versi
Eropa (Barat) dan Asia (Timur). Versi umum karya kartun ala Eropa cenderung
berupaya menyembunyikan serapat-rapatnya kunci titik ledak (surprised ending) sehingga pembaca (yang
notabene educated people) merasa
tertantang dan dilibatkan dalam proses penemuan gagasan/kelucuan yang
ditawarkan si kreator. Versi Asia, justru sebaliknya. Masyarakat Asia umumnya kurang
menyukai karya-karya kartun yang sulit dimengerti. Apakah ini mencerminkan
indikasi kemalasan atau ketakpedulian atau belum meratanya sikap keterpelajaran
mereka, tentu perlu adanya penelitian untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut.
Sehingga tidak aneh bila di beberapa negara di Asia (Indonesia?), kita sering menyaksikan
gambar kartun opini yang si kartunisnya perlu memberi keterangan: misal gambar
buah apel, rumah sakit, penjara dan sebagainya perlu diberi tulisan yang
menjelaskan gambar-gambar tersebut. Tak terkecuali bila itu menyangkut
gambar-gambar tokoh tertentu.
Di dalam kehidupan sehari-hari orang
mengenal karya kartun dari animasi (untuk anak-anak), kartun opini (political/editorial cartoon), kartun
lelucon (gag cartoon), ilustrasi
kartunal (info grafis, buku komik, dll), kartun strip, gambar wajah lucu, dan
aneka macam kartun hias. Berbeda dari semua karya kartun yang ada, kartun opini
memerlukan persyaratan khusus bagi pembaca untuk dapat menikmatinya secara total dan
paripurna; yaitu pembaca atau penikmat harus memiliki referensi yang memadai. Up to date! Mengapa demikian? Karena
kartun opini merupakan respon atau tanggapan kartunis terhadap
peristiwa-peristiwa yang sedang menonjol (in)
di masyarakat. Bila pembaca ketinggalan isyu-isyu aktual (hangat) yang muncul
silih berganti, besar kemungkinan akan terjadi gagal komunikasi antara kartun
opini dan penikmatnya. Pada akhirnya, untuk dapat menjadi penikmat atau pembaca
kartun opini yang berhasil, tak ada jalan lain kecuali pembaca perlu rajin
mengikuti isyu-isyu aktual yang muncul di masyarakat.
Ada pertanyaan, mengapa anak-anak
dapat tertawa untuk hal-hal yang orang dewasa sendiri menganggapnya tidak lucu?
Berikut penjelasan Dr. Madan Kataria,
dokter/psikiater asal India penulis buku Laugh For No Reason, “Anak-anak bisa tertawa tanpa sebab
karena otaknya belum mengerti tentang logika, tapi orang dewasa tertawa jika
menurut logikanya ada yang lucu. Jadi jika tidak ada logikanya, ia tidak
tertawa.”
Kembali ke kartunis Pramono. Bertemu
dengan kartunis yang kalem dan banyak senyum ini (15-Juni-2011) di Salatiga,
Jawa Tengah, makin terlihat titik pijakan filosofinya dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Ia makin sumeleh
(mensyukuri apa yang ada) dan bersahaja. Dari keadaan itulah makin terpancar
atmosfer kependekarannya. Bahkan, dari magnet dan karisma pribadinya yang khas
itu, tanpa sengaja ia merupakan inspirator bagi lingkungan dan beberapa
komunitas anak muda, bukan saja para pecinta kartun dan humor, tetapi juga
anak-anak muda pecinta lingkungan hidup.
Pramono
bukan saja menggetarkan sebagai kartunis, ia juga seorang bapak, guru, dan
teman ngobrol yang sangat mengasyikkan.
Suatu hari,
ketika mengantar jalan-jalan ke pasar tradisional seorang teman yang datang dari
Jakarta, tiba-tiba dari kerumunan pengunjung pasar ada seorang nenek yang
menyapa Pramono dari kejauhan. Si kawan Jakarta kaget. “Ternyata di pasar pun
Anda populer, Mas Pram!”
Pramono
hanya ketawa, lalu nyeletuk, “Saya memang sedang belajar menjadi orang desa!”
Darminto M
Sudarmo
Penikmat/pengamat
humor. Tulisan ini merupakan
pengantar
untuk katalog pameran
0 comments:
Post a Comment