Perkenalkan nama saya Jitet Koestana. Saya lahir di Semarang, Jawa Tengah, 4 Januari 1967. Kata orang sih, nama saya Koestana saja. Tetapi kata saya, ada tambahannya Jitet. Kalau nama pop artis-artis biasanya serba glamor dan keren, nama pop saya justru Jitet. Anda tahu apa artinya Jitet? Dalam bahasa Jawa jitet artinya mlithut. Kalau ada baju atau celana yang lobang atau sobek, karena tak ada kain lain yang mirip, maka karena tak sabar, biasanya langsung ambil jarum dan benang untuk dijahit secara militer, eh, paksa, maka hasilnya baju atau celana itu jadi mlithut karena dijitet.
Beda dengan para artis yang memang dibuatkan nama pop oleh produser, saya justru memakai nama Jitet memang sejak dari awal berlatih menggambar kartun. Biar Jitet artinya rada katro seperti di atas, tetapi saya sangat cocok dengan nama ini. Bahkan mungkin justru dengan nama ini pula Tuhan memberikan banyak anugerah dan kemudahan bagi saya. Maka saya sangat bersyukur dengan nama yang sederhana tersebut.
Berbeda dengan banyak kartunis lain, memulai segalanya dengan bekal pengetahuan yang memadai, saya justru memulai dari keadaan yang serba kurang. Kurang secara pengetahuan, biaya, apalagi jaringan. Meskipun demikian saya sama sekali tidak menyesal.Saya bersyukur berlatih menggambar kartun secara otodidak, menambah pengetahuan secara otodidak, bergaul dan menempa diri secara otodidak, ternyata Tuhan memberikan jalan yang lapang, meskipun pada awalnya sangat berat dan banyak sekali tantangannya.
Saya ingat sekali, pada suatu ketika salah seorang senior saya memberi saran, untuk dapat membedah dan membuka rahasia dunia dan alam semesta sehingga kita jadi tahu siapa kita dan di mana kita, lalu mau apa kita, ke mana kita menuju, caranya tidak sulit, cukup dengan membaca buku. Khususnya buku-buku filsafat. Karena kata para ahli, filsafatlah yang akan membongkar kontruksi ilmu pengetahuan di dunia secara radikal. Mempertanyakan segala teka-teki secara menyeluruh dan tanpa ampun.
Buku-buku itu pada akhirnya membuat mata saya terbuka. Betapa benar ungkapan yang mengatakan buku itu jendela dunia. Senior saya itu sering mengatakan, apa sih sebenarnya yang dilakukan orang-orang sekolahan? Mereka disuruh membaca, menghafal atau menganalisa buku-buku yang wajib dibacanya kemudian meringkas atau menjalani test sampai seberapa jauh mereka memahami isi yang ada dalam buku itu? Begitulah ritualnya. Dari zaman baheula sampai sekarang. Tradisi itu tidak pernah berubah. Kalau hanya menjalani itu, mengapa harus melewati upacara masuk sekolah dulu, sesuai jenjang dan sekian banyak barikade, sehingga banyak waktu terbuang. Mengapa bila orang sudah dapat membaca dan menulis tidak boleh memilih sendiri buku-buku yang ingin dibacanya?
Dalam kehidupan sehari-hari, kaitannya dengan tekanan batas waktu dalam pekerjaan bagi ilustrator atau kartunis yang harus selalu segar dalam gagasan, buku-buku, apalagi ilmu filsafat yang pernah kita cerna, kontribusinya sangat besar. Bahan-bahan itu seperti sebuah deposit, seperti tabungan, ketika kita dalam keadaan terdesak dan membutuhkannya, dengan sangat refleks mereka datang sendiri memberi bantuan bagi gagasan kita. Seperti situasi yang ajaib, tetapi sesungguhnya sangat wajar. Dalam hal ini, memang kita tak mungkin bisa memberi yang kita tidak punya. Begitu pula dengan ide. Jangan harap kalau kita tidak pernah nabung lalu enak-enak aja narik duit dari ATM pada saat kehabisan duit padahal saldo kita kosong. Begitulah, kehidupan ternyata sangat adil dan rasional!
Setiap ditanya bagaimana semua ini bisa terjadi, saya selalu menjawab dengan bahasa saya, “Tidak ada yang sulapan dan ujug-ujug langsung menjadi kartunis berhasil. Semua dimulai dari kerja keras dan semangat juang tak kenal menyerah!”
Begitulah, ternyata omongan saya kamso banget, ya? Tak apa. Mau cerita yang lebih kamso? Saya punya. Ini dia.
Wah, menyebut-nyebut kata kamso rasanya bikin malu aja. Sepertinya kok saya sibuk memuji diri sendiri. Tapi apa boleh buat; nyatanya kamso itu memang indah he he he. Begini. Pada tahun yang telah lewat, saya pernah bekerja sebagai pengrajin fibreglass. Tugas saya membentuk gantungan kunci atau plakat yang sebelumnya masih kasar (ketika dikeluarkan dari cetakan) untuk kemudian dihaluskan. Memang untuk dapat mewujudkan itu diperlukan ketelitian dan ketekunan. Setelah proses penghalusan selesai, akan diperoleh sebuah kreasi indah meski hanya sebuah gantungan kunci. Proses penghalusan itu dimulai dari menggerenda, mengamplas, dan memoles dari sebuah resin cetakan yang tadinya cuma kotak. Pada saat melakukan penggerendaan selalu keluar debu yang kadang tampak seperti kabut, kalau menempel di kulit susah sekali menghilangkannya. Ini yang bikin pusing; padahal sudah mandi dan pakai sabun segala ( seperti orang luluran dengan kapur).
Dari debu yang menempel di kulit itulah yang sekarang memberi kenangan begitu mendalam bagi saya.
Suatu hari saya dan teman sekerja hendak makan siang karena perut sudah tak bisa ditahan lagi. Saya sekadarnya saja membersihkan debu fiber yang menempel di tubuh. Kami pun berangkat dan mampir di sebuah rumah yang mirip warung nasi. Dari dalam rumah muncul seorang wanita yang lalu nyeletuk, “Wah sanese mawon, Mas.” (Tempat lain aja, Mas) ucapan yang umum digunakan di Semarang untuk mengusir pengemis.
He he he.....kami pun maklum karena memang penampilkan kami yang terlihat kumuh dan berdebu, jadi wajar kalau dikira pengemis.
Dengan malu-malu laper kami pun ngeloyor pergi, karena rumah itu pun ternyata juga bukan rumah makan! Juga pernah suatu hari saya sangat mengharapkan kehadiran wesel hasil dari menggambar kartun yang telah dimuat di sebuah media; tapi harapan itu tak terpenuhi, karena dari pagi hingga sore, tak ada pak pos yang nongol.Akibatnya, dari pagi hingga sore hari tak sebatang rokok pun terisap. Karena tak tahan dengan asamnya mulut, maka saya pun melakukan apa yang paling mungkin saya lakukan. Kebetulan di rumah ada gitar; kebetulan pula saya bisa nyanyi walau tak merdu-merdu amat; dan kebetulannya lagi, saya dianugerahi nyali.
Maka pada sore itu saya jadi penyanyi. Bukan jadi bintang Indonesian Idol, atau artis akademi fantasi, tapi jadi pengamen. Satu keinginan saya sederhana saja, yaitu sebungkus rokok. Dengan harapan kuat dan tekat bulat, saya pun nyanyi dari rumah ke rumah. Ada yang memberi, tapi ada yang tidak. ada yang memberi sedikit, ada pula yang banyak. Hasilnya? Tentu saja duit recehan. Tapi bukan itu saja, yang mengagetkan hasilnya lebih dari yang saya harapkan. Saya tak hanya mampu membeli rokok, tapi juga mie rebus dan makanan gorengan. Masih ada sedikit sisa uang lagi buat besoknya, ....asyiiik!
Demikian sebagaimana diceritakan kepada penulis.
Darminto M. Sudarmo
0 comments:
Post a Comment