Friday, February 27, 2009
Membedah Anatomi Kerja Kartunis
Catatan:
Menikmati kartun yang sudah jadi memang mengasyikkan; tetapi tahukah kita bagaimana ketika sang kartunis menghadapi kertas kosong dan otaknya lagi blank, tidak ada ide sama sekali? Apa yang harus dilakukannya? Dari diskusi di bawah ini mungkin akan Anda dapatkan jawabannya. Di balik setiap kartun bagus, selalu ada literature yang mem-back up kinerja sang kartunisnya.
SEMINGGU sebelum acara diskusi kartunis (Lektur Terbuka: Kartunis dan Tugasnya oleh GM Sudarta dan Lat) di Taman Ismail Marzuki, 12 Juli 2003, saya didaulat kartunis Pramono (Ketua Umum Pakarti -- Persatuan Kartunis Indonesia, waktu itu) agar bersedia memandu acara diskusi tersebut, disponsori oleh Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta. Bagaimana mungkin saya dapat menolak “perintah” beliau, salah seorang tokoh kartunis senior negeri ini, apalagi bila itu ada kaitannya dengan sebuah momentum yang menarik; yakni bertemunya dua figur maestro kartunis Indonesia dan Malaysia , GM Sudarta dan Lat, yang seingat saya baru pertama kali dipertemukan dalam sebuah forum di Indonesia.
Gairah budaya pun semakin tumbuh, apalagi bila mengingat Indonesia sedang dilanda berbagai arus kepentingan yang membuat pening kepala, geli hati sekaligus jengkel karena UU Pilpres, Susduk, Hak DPR untuk menyandera, dan lain-lain yang begitu naïf, ternyata bisa terjadi dan memang benar-benar terjadi.
Saya pun bersiap-siap mengumpulkan joke-joke “maut” agar dalam pelaksanaan diskusi dapat diarahkan ke suasana yang lebih “pedas” tapi segar dan eliminatif. Harapan saya, kendati hanya berlangsung selama dua jam saja, pertemuan dua jagoan itu bisa menjadi katarsis bagi semua yang hadir. Sejenak melupakan proses sejarah yang gerah, yang terjadi di negeri ini. Tambahan lagi, diskusi yang bertajuk: Kartunis dan Tugasnya bukankah tergolong tema ringan dan pasti akan penuh dengan canda dan derai tawa. Bayangan lucu yang terproyeksi dalam kepala saya, pasti para kartunis akan menjawab sambil berseloroh, “Tugas kartunis apa lagi? Tentu saja mencari nafkah buat keluarganya”. Hadirin yang kaget akan merespon jawaban itu dengan gelak tawa dan tepuk tangan; betapa mewahnya bila suasana seperti itu bisa terjadi.
Logika seperti ini pula yang pernah dipakai Arswendo Atmowiloto, ketika menangkis pertanyaan secara ndugal, mengapa gerakan sparatisme di Indonesia marak, bukan saja di Aceh, Maluku tapi juga di Papua? Jawaban Arswendo, PDI-P-lah yang harus bertanggung jawab, jelas-jelas Indonesia sudah lama merdeka, mengapa partai itu selalu meneriakkan yel-yel, “Merdekaaaa…Merdekaaaa!!!”
Arswendo memang Arswendo. Untuk mengamankan pernyataannya yang rada ndugal itu, dia berlindung di balik predikatnya sebagai seorang guyonis. Guyonis? Istilah gendeng apa pula ini? Tapi secara gramatika, tidak salah. Guyon itu kata benda dan akhiran is, tak mau kalah dengan humoris, kartunis, lengkap kan edan-edanannya?
Maka, seperti yang sudah dijadwalkan, diskusi tentang kartun dan kartunis itu pun terjadilah…!
***
GM Sudarta, seperti yang sudah diduga, tampil piawai sebagai story teller yang memikat, runtut, terutama ketika menyampaikan “makalah”-nya berupa tumpukan gambar karikatur mahasiswa-mahasiswa Bandung pada tahun-tahun sekitar 1965-an, sesekali muncul leluconnya yang inspiratif, dan tetap dikemas dalam bingkai elegan. Lat yang tampaknya pendiam dan angker, setelah berbual-bual (berbicara) secara lugas, apa adanya, barulah muncul sepenggal demi sepenggal leluconnya. Hampir semua yang dia sampaikan berdasar pengalaman nyata. Namun disusun secara bersilang tumpang sehingga setiap terjadi persinggungan logika, selalu muncul sesuatu yang mengagetkan dan menimbulkan tawa.
Persoalannya kemudian, diskusi tumbuh tidak sekadar mengobral tawa dan katarsis. Joke-joke maut yang sudah saya siapkan pun akhirnya tak relevan dimunculkan karena suasana telah berkembang sebagaimana yang dikehendaki takdir. Inti dari “makalah” GM Sudarta yang menggambarkan keberanian para kartunis (mahasiswa) saat itu yang demikian telak dan langsung membidik sasaran atau obyek, yakni Bung Karno, sebagai symbol rezim Orde Lama dan mendukung secara eforia kelahiran Orde Baru, pada akhirnya membuat para kartunis itu harus terkecoh, karena rezim yang baru pun, secara pelan tapi pasti mulai memasung kebebasan yang semula dijanjikan semanis madu itu. Pesta demokrasi pun usai sejak awal tahun 1980-an hingga Rezim Soeharto tumbang, 1998.
Fakta itu mengingatkan saya pada buku “Catatan Seorang Demonstran” karya Soe Hok Gie. Salah satu pernyataan Soe Hok Gie, yang juga hasil mengutip dari intelektual asing, (maaf, saya tak ingat namanya), seorang cendekiawan dilahirkan untuk memusuhi rezim yang korup; setelah rezim yang korup tumbang, maka akan muncul rezim baru. Rezim baru tak lama kemudian juga korup, sang cendekiawan pun memusuhi rezim yang baru. Demikian seterusnya. Maka takdir seorang cendekiawan akan selalu sendirian dan selalu sendirian dalam rezim yang bagaimana pun.
Sementara itu Lat banyak bercerita tentang dirinya yang tak berkantor di mana-mana, tetapi bekerja di rumah sebagai kartunis untuk harian New Straits Times, Malaysia. Seminggu tiga kali. Sebulan rata-rata 12 karikatur. Gambar-gambar itu juga dikirim via email, sehingga Lat tak perlu hadir di kantor koran tersebut. Setelah berpuluh-puluh tahun malang-melintang di Kuala Lumpur, Lat merasa perlu balik ke kampung, Ipoh, untuk berbagai alasan. Di antaranya adalah memberi ruang bagi kemunculan kartunis-kartunis muda dan yang jelas suasana di kampung lebih nyaman: udara jauh lebih sehat dan sosialisasi dengan warga lebih hangat; mungkin spirit kemanusiaan dan ketulusan lebih terasa daripada di kota.
Sesuatu yang menggembirakan, di luar dari proyeksi nakal saya, diskusi dua jam itu tak sengaja dapat menghadirkan simpul-simpul penting mengenai sosok manusia yang bernama kartunis. Khususnya yang berkaitan dengan sistematika berpikir, proses kreatif dalam berkarya, metodologi kerja dan motivasi pilihan profesi. Dari simpul-simpul tersebut bila disederhanakan, dalam diri seorang kartunis (tak peduli apakah ia seorang gag cartoonist, social cartoonist maupun political cartoonist) terdapat tiga elemen kompetensi yang satu dengan lainnya saling terkait.
Elemen pertama, kompetensi di bidang teknis/artistik; seorang kartunis dengan sendirinya memiliki kemampuan teknis menggambar yang memadai. Dengan kata lain bila ia menggambar seekor kuda, maka siapa pun yang melihat gambar itu akan mengatakan itu gambar kuda. Bukan kerbau, sapi atau jerapah. Bila seorang kartunis bermaksud menggambar kuda, tetapi yang tampak oleh orang banyak bukan gambar kuda, maka si kartunis dianggap gagal berkomunikasi. Itu sama dengan dia belum memiliki kompetensi di bidang teknis/artistik. Dan komunikasi kepada publik akan semakin kacau bila ternyata dari gambar yang menyimpang itu ketambahan lagi dengan kata-kata, bayangkan, betapa carut marutnya kemungkinan komunikasi yang bisa terjadi kemudian.
Elemen kedua, kompetensi di bidang pengamatan (jurnalis, kolomnis, penulis, cerdik cendekia, ilmuwan dan sebagainya); seorang kartunis dengan sendirinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dalam mengamati berbagai masalah secara cermat dan akurat. Khususnya menyangkut detil dan substansi. Setelah diendapkan beberapa saat, kemudian ia membuat analisa-analisa. Membuat pertanyaan dan asumsi. Bahan berupa analisa ini untuk sementara dibiarkan menggantung menunggu proses yang ketiga.
Elemen ketiga, kompetensi di bidang lelucon (humoris/kreatif); seorang kartunis dengan sendirinya adalah seseorang yang memiliki sense of humor yang baik dan mampu menghasilkan lelucon yang baik pula; ia mampu melihat persoalan dari sudut pandang yang beda daripada masyarakat umum. Beda dalam konteks ini tidak sekadar lain, namun beda yang memiliki sejumlah alasan yang dapat dibenarkan. Seperti karikatur karya GM Sudarta (Lihat Kompas, 12 Juli – 2003), seorang narapidana berpakaian loreng duduk di singgasana nomor satu negeri ini dengan senyum lugu dan wajah tak berdosa. Proyeksi karikatur yang nyeleneh dan mengagetkan itu, tidak sekadar beda tapi berlandaskan alasan-alasan yang reasonable. Bila kurang jelas, buka UU Pilpres.
***
DI sisi lain, banyak rekan wartawan yang dengan penasaran mempertanyakan tentang sosok yang bernama kartunis itu. Bila dilihat sekilas performance mereka tenang, kadang justru cenderung pendiam, bahkan ada yang sangat pemalu, tidak suka sosialisasi dengan orang-orang yang belum dikenalnya secara mendalam. Tetapi ketika tiba giliran mereka menggambar kartun, di situlah muncul ide-idenya yang edan dan ugal-ugalan. Ada virus apa sebenarnya di otak kartunis itu? Pertanyaan bernada seloroh ini mudah-mudahan agak terjawab oleh asumsi tiga elemen di atas.
Bila dipikir-pikir, demikian seorang teman kartunis ngudarasa, mungkin masih lebih enak menjadi pelukis. Tugasnya adalah melukis. Boleh tidak peduli pada masalah-masalah terkini yang lagi hangat atau sudah basi. Boleh melukis yang obyeknya tidak harus lucu; sebaliknya, bebas mengungkapkan hal yang membuat orang bersedih hati. Begitu juga dengan jurnalis, kolomnis, penulis, cerdik cendekia, ilmuwan dan sebagainya. Boleh bekerja dalam jalur job-nya tanpa perlu harus pintar menggambar atau melucu. Tak terkecuali pelawak atau humoris, tidak perlu harus pintar menggambar. Bukankah itu berarti, bahwa secara esensial, kerja sebagai kartunis adalah kerja yang tidak ringan. Ia harus menggabungkan sedikitnya tiga kompetensi sekaligus, sebagaimana dijelaskan di atas.
Mengingat keadaan ini, saya sering bertanya-tanya dalam hati, inikah yang menjadi penyebab mengapa jumlah kartunis negeri ini dari waktu ke waktu terus menyurut? Apalagi bila dibandingkan dengan jumlah pelukis, yang angkanya dari waktu ke waktu justru makin bertambah. Catatan sementara yang ada pada saya, para kartunis yang tidak pernah lagi mengartun di antaranya adalah: Harmoko, Harry Pede, Oet, Tris Sakeh, SNS, Meru Sudarta, Julius Pour, T. Nurjito, Gun R, Mr. Zaggy, Jaya Suprana, Ramli Badrudin, Basnendar, Anwar Rosyid, Odios (saya sendiri), dan masih banyak rekan lain di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang,.Solo, Surabaya dan Bali yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Sementara itu kartunis-kartunis Indonesia yang masih setia berkarya, mungkin cukup banyak, namun relatif sedikit bila dibandingkan jumlah pelukis/perupa yang tumbuh di negeri ini. Trio jagoan Indonesia yang sudah tidak asing lagi dan belum tergoyahkan eksistensinya adalah: GM Sudarta, Dwi Koendoro dan Pramono. Ada satu kartunis kawakan, yang lebih senior dari mereka bertiga, kendati tidak spesifik memiliki media (terutama di zaman Orde Baru) namun tetap berkarya, yaitu Sibarani. Almarhum Arwah Setiawan menempatkan Sibarani sebagai salah satu sosok karikaturis paling fenomenal pada zamannya.
Dari angkatan yang lebih muda lagi, memang terdapat nama-nama seperti: Non-O, Gesi Goran, Gatote, Rahmat Riyadi, T. Riyadi, tetapi nama-nama seperti Priyanto S dan T. Soetanto dari Bandung yang karyanya banyak merajalela di media Jakarta, siapa bisa menafikan kehadiran mereka? Di kawasan lain, kartunis Jitet Koestana yang sering menang lomba di luar negeri, Jango yang punya komunitas penerbitan kartun (humor) di Bali, Tony Tantra yang terus berkarya dalam kemisteriusannya, M. Najib, yang lugu dan lucu seperti “Inul”, Ifoed yang rajin mengembangkan kartun ke advertensi, adalah fenomena-fenomena baru yang tak dapat dianggap enteng kiprahnya. Dalam perkembangannya, kartun ternyata tidak hanya menjadi warga dari seni grafis. Ia kini telah berkembang ke seni hias kaos, interior, instalasi, animasi dan bukan tak mungkin bermutasi ke seni murni.
***
PADA akhirnya, baik GM Sudarta maupun Lat yang siang itu 12 Juli 2003 menjadi “ayah” bagi Oom Pasikom dan Si Mamat (Kampung Boy) harus rela buka kartu dan berendah hati, bahwa hal-hal yang berkaitan dengan sistematika berpikir, proses kreatif dalam berkarya, metodologi kerja dan motivasi pilihan profesi, tetap perlu mengkaitkannya dengan tatanan social dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Wajarlah bila dalam berkarya mereka harus mengkalkulasi itu semua supaya karya dan pesannya dapat efektif sampai ke sasaran yang dituju. Artinya, bahwa kartun yang berhasil itu indikasinya adalah dapat membuat senang si pembuat, yang membaca/menonton dan pihak yang dijadikan obyek dalam karikatur/kartun. Dengan kata lain, untuk sampai pada situasi itu, mereka perlu menempatkan strategi self censorship sedini mungkin. Setidaknya sikap itu yang diperlihatkan GM Sudarta dan Lat tanpa tedheng aling-aling. Tanpa perlu merasa kurang heroik. Toh bila seorang kartunis berhasil menyampaikan early warning, pesan atau peringatan awal atas suatu masalah atau persoalan, sebenarnya, itu sudah lebih dari cukup. Bahkan, GM Sudarta mengutip salah seorang “suhu” institusi pendidikan tinggi kartun di Jepang yang berkata, bila sebuah kartun sudah mampu berbisik kepada pembacanya, itu sesungguhnya, sudah tergolong berhasil.
Begitulah. Pertanyaannya lagi, wajarkah bila kita menuntut peran kartunis terlalu besar dan berlebihan, misalnya berharap mereka menjadi ujung tombak demokrasi, agen perubahan atau revolusi, lalu apa peran anggota DPR yang terhormat dan bergaji besar itu?
Darminto M. Sudarmo, penulis dan pengamat humor.