SECANGGIH APAPUN PERALATAN DAN TEKNOLOGI TETAP SEBUAH ALAT

KOMPETISI TETAP HARUS TERJADI

KREATIVITAS MANUSIA YANG MEMBEDAKANNYA

ADA YANG MENANG DAN KALAH ITU BIASA

MAKNA HIDUP HADIR BILA KITA BERAKTIVITAS

Saturday, May 19, 2012

Kartunis Perlu Melirik Pasar Ekspor

Salah satu penyelenggara lomba.
KRISIS ekonomi dan situasi menggantung yang berkepanjangan, ternyata juga mengimbas ke sejumlah besar kartunis Indonesia. Mereka yang selama ini banyak menggantungkan “penghasilan” lewat koran dan majalah, sebagai penyumbang/kontributor lepas, kini tak dapat berbuat banyak untuk dapat menolong dirinya sendiri. Berbagai penerbitan besar, tak terkecuali Kompas (bahkan) telah lama menutup rubrik untuk para kartunis lepas. Ironisnya pula, banjirnya tabloid dan media yang baru, nyaris tak menyediakan rubrik atau ruang tempat para kartunis lepas berkiprah; ada apa sebenarnya?
Bagi para kartunis lepas, pertanyaan ini jelas sulit dijawab, karena mereka tak banyak mengetahui problem tiap-tiap media dalam era krisis ekonomi yang cukup serius ini. Semangat para pengelola media baru tampaknya sedang terpusat pada masalah-masalah yang lebih langsung dan terukur; misalnya, politik, ekonomi dan tendensi-tendensi praktis lain. Beberapa media, bahkan merasa tak harus memiliki seorang karikaturis, karena dalam situasi yang agak “darurat” seperti sekarang, kehadiran karikatur atau gambar kartun opini semacam itu bisa dikatakan perlu atau tidak perlu.
Sementara itu beberapa media yang lain, cukup memesan ke beberapa kartunis yang sudah memiliki jam terbang teruji untuk membuat karikatur dengan tema menurut selera tiap media. Tak perlu para kartikaturis itu terlibat secara organik ke dalam media bersangkutan. Akhirnya, muncullah karikaturis yang hadir di berbagai media dengan berbagai inisial atau nama.
Perkembangan ini sebenarnya, sehat-sehat saja, selama komitmen pada eksklusivitas tiap media pemesan tetap terjaga; buktinya, Lurie, karikaturis Amerika Serikat itu melayani pesanan gambar karikatur dari media hampir di seluruh penjuru dunia secara berbeda-beda topik dan tema; toh mekanismenya berlangsung secara baik dan lancar-lancar saja. Bedanya, kalau karikaturis kita “diborong” secara perorangan, dari menggagas ide, menggambar hingga mengantar ke media, di beberapa karikaturis luar sudah terorganisasikan dalam tim. Ada staf yang bertugas menggagas ide, membantu menggambar hingga menangani masalah-masalah teknis.
   
***

PADA mulanya timbul pesimisme di antara para kartunis lepas kita, bahwa dihapuskannya rubrik-rubrik kartun di media massa karena secara esensial, kartun lepas (gag cartoon)  semacam itu sudah tidak menarik lagi; ternyata kekhawatiran ini tidak selalu benar. Dari beberapa sumber yang dapat dihimpun, disimpulkan, bahwa itu terjadi lantaran beberapa media perlu melakukan pengetatan pengeluaran yang cukup tajam; termasuk pengeluaran untuk honorarium para penyumbang naskah lepas; bukan hanya para kartunis, para penulis, juga. Harga kertas yang pernah membuat pingsan para penerbit, situasi eksternal (krisis ekonomi, rupiah menyusut), hingga perolehan dari iklan yang makin sulit, adalah persoalan-persoalan obyektif yang sulit dielakkan oleh para pengelola media massa secara umum.
Namun, setelah menyimak tulisan Agus Dermawan T di Kompas, 3 Januari 1999 dengan judul Catatan Seni Rupa Indonesia 1998, Karikatur: “Rruaarr” Biasa! suasana jadi melegakan, meskipun agak mencemaskan. Melegakan karena ternyata masih ada juga para kartunis yang masih diberi kesempatan berpartisipasi di media massa, meskipun jumlah mereka relatif kecil. Mencemaskannya, persoalan “keberanian” atau lebih tepatnya “kenekatan” kartunis yang sering dipertanyakan oleh para pengamat kartun di rezim Orba, seolah-olah para kartunis itu mengemban amanat penderitaana rakyat yang lebih besar dari DPR, partai politik, pers dan lain-lain. Sehingga secara bercanda, para kartunis sering berkomentar di belakang panggung, “Ah, kayak nggak tahu situasi saja.”
Sementara itu, “keberanian” atau “kenekatan” para kartunis lewat karikaturnya di berbagai media, terkesan menyentak kesadaran kita semua. Tapi sebenarnya ini juga berlebihan. Bukankah itu wajar-wajar saja? Apa hebatnya keberanian dan kenekatan pada zaman reformasi ini? Mudah-mudahan para kartunis tidak keliru menilai diri dan para mahasiswa tidak bercanda di belakang panggung sambil berbisik, “Ah, kayak nggak tahu situasi saja.”

***
                   
KEMBALI ke persoalan awal, bagaimana para kartunis lepas menyiasati situasi yang cukup membingungkan ini? Ada banyak alternatif yang bisa ditempuh; pertama, menjajakan karya kartun (untuk kartu Natal, Tahun Baru, Lebaran maupun Ulang Tahun) secara kaki lima di berbagai lokasi strategis: mal, pusat-pusat keramaian dan lain-lain.
Kedua, melakukan kontak dengan beberapa penerbit (majalah) kartun ASEAN, misalnya Malaysia; mereka cukup banyak memerlukan kontribusi kartun lucu non-politik yang miniteks (kartun bisu) dengan tema-tema universal. Ketiga, menghubungi beberapa penerbit buku bacaan di kota-kota besar di Indonesia yang pola komunikasinya memerlukan banyak gambar; saat ini Program Pustaka, Yayasan Adikarya IKAPI bekerja sama dengan Ford Foundation sedang giat membantu biaya produksi  (hingga 80%) para penerbit buku berbadan hukum dalam bidang ilmu sosial dan humaniora.
Keempat, ini pilihan paling menantang dan mendebarkan; yakni menjadi peserta lomba kartun internasional secara kontinyu. Dalam satu tahun, terdapat puluhan penyelenggara lomba kartun  yang diselenggarakan oleh berbagai negara dan menjanjikan hadiah cukup menggiurkan dan terdiri dari banyak kategori.
Di Jepang, paling tidak ada Kyoto International Cartoon Congress, Okhotsk International Cartoon and Comic Exhibition dan International Cartoonfestival Mangafesta. Di Korea (Taejon Int’l Cartoon Contest dan Seoul International Cartoon Festival), Taiwan (Courage World Cartoon Contest), Meksiko, Australia, Inggris (NewStatesman International Cartoon Competition), Perancis (Festival International du Dessin Humorstique), Belanda (Dutch Cartoonfestival),  Turki (Hurriyet International Cartoon Competition), Romania (Humorror Cartoon Contest Regulations, lomba kartun horor-dms), Belgia (International Cartoonfestival Knokke-Heist), Italia, Iran (Tehran Cartoon Biennial), Ukraina, Bulgaria, dan masih banyak lainnya.
Salah seorang kartunis yang masih konsisten memilih alternatif ini adalah Jitet Koestana; ia telah memenangkan puluhan penghargaan, yang berarti memperoleh hadiah jutaan rupiah setiap kemenangannya, dari berbagai lomba tersebut.
Kelima, mencoba menjual karya kartun yang dianggap bagus ke berbagai sindikasi kartun di Amerika Serikat, Jepang atau Inggris. Sampai saat ini saya belum memperoleh data ada kartunis Indonesia yang bisa menembus pasar sindikasi internasional. Kalau Anda yang pertama, bukankah itu luar biasa?
Berikut informasi lomba yang mungkin masih keburu. Mengapa tidak dicoba saja? Kalau dollar tak ada di dalam rumah, cari di luar rumah; kalau tak ada di luar rumah ya cari di luar negeri! Siapa takut? (dms)


Agenda Lomba Kartun - Karikatur - Visual Humor Internasional Paling Baru (2012-2013)


5th INTERNATIONAL CARICATURES CONTEST FESTIVAL “HUMOREIX” LLEIDA
Theme: Caricatures of Kings, Queens and Princes and Princesses of the European Monarchies
Deadline: 28 May 2012
www.humoreix.com

4th P.C.RATH MEMORIAL INTERNATIONAL WEB CARTOON CONTEST India
Theme: Cartooning
Deadline: 31 May 2012
www.aswiniabani.com

14th Cartoon Contest Zielona Gora
Theme: Plane-Airport-Flying
Deadline: 31 May 2012
www.debiut.org.pl

24th Rotary Cartoon Award Competition
Theme: Free
Deadline: 31 May 2012
www.rotarycartoonawards.com

4th Trasimeno Blues Cartoon Fest
Theme: Mama sings the Blues
Deadline: 10 June 2012
www.trasimenobluescartoonfest.com

3rd Biennial of HUMOR "LUIS D'Oliveira Guimarães" Penela 2012
Theme: THE LETTERS AND JOURNALISM
Deadline: 10 June 2012
regulamentoscartoon.blogspot.com

5th OSCARfest International Cartoon Exhibition Croatia
Theme: Camping / Free
Deadline: 14 June 2012
dado.kov@gmail.com

International Cartoon Contest Molla Nasreddin – Azerbaijan 2012
Theme: Press (the importance of the satirical press)
Deadline: 15 June 2012
www.azercartoon.com

International Competition of Ironic Cartoon «The Famous Grouse»
Theme: Birds, Alcohol drinks, Famous countries
Deadline: 17 June 2012
www.crevic.com

18th International Cartoon Contest Haifa
Theme: Injustices in Modern Society / Free
Deadline: 18 June 2012
www.haifa.muni.il

NEW 4º Salão Medplan de Humor
Theme: NETWORKS
Deadline: 22 June 2012
www.medplan.com.br

5th Baja Cartoon Competition
Theme: Gastro-tourism – we’re partial to fish, game and wine
Deadline: 25 June 2012
www.grafikuskelemen.hu

NEW XIX International Exhibition of Arts of Humor Alcalá 2012
Theme: The economic crisis
Deadline: 30 June 2012
www.humorgrafico.org

7th International Cartoon Competition Grafikatur
Theme: Education
Deadline: 30 June 2012
www.luebben.com

21sth Daejeon International Cartoon Contest DICACO 2012 - Korea
Theme: New City & Eco Story / Free
Deadline: 30 June 2012
dicaco.kongju.ac.kr

INTERNATIONAL BEGGAR CARTOON CONTEST 2012 CHINA
Theme: Beggar / Free
Deadline: 12 July 2012
www.redmanart.com

2nd INTERNATIONAL TURHAN SELÇUK CARICATURE CONTEST
Theme: Free
Deadline: 13 July 2012
www.milaskultursanat.com

39th Salão Internacional de Humor de Piracicaba
Theme: Intolerance / Free
Deadline: 20 July 2012
salaodehumor.piracicaba.sp.gov.br

NEW 18th INTERNATIONAL EXHIBITION OF SATIRE, HUMOR AND COMICS La Ghignata 2012
Theme: The WOMAN
Deadline: 30 July 2012
www.lfb.it/ghignata

8th International Biennial of Caricature THE GOLDEN SMILE BELGRADE 2012
Theme: TENNIS
Deadline: 20 August 2012
www.ulupuds.org.rs

32nd International Nasreddin Hodja Cartoon Contest
Theme: Free
Deadline: 31 August 2012
karikaturculerdernegi.com

NEW 1st International Graphic Humor Salon of Pernambuco
Theme: The Woman
Deadline: 1 September 2012
www.sihg.com.br

6th International Exhibition of Satirical Graphic BUCOVINA ROMANIA 2012
Theme: Rich and poor
Deadline: 15 September 2012
www.muzeulbucovinei.ro

NEW 24th Olense Kartoenale 2012
Theme: Puzzles and puzzlers
Deadline: 24 September 2012
www.olen.be

10th INTERNATIONAL CARTOON CONTEST “KARPIK 2012” POLAND
Theme: FISH, FISHERMEN, FISHING, ANGLERS
Deadline: 30 September 2012
www.cwn-news.com

1st INTERNATIONAL COMPETITION OF GRAPHICAL HUMOUR “CULTURAL CORRESPONDENCES”
Theme: CULTURAL CORRESPONDENCES
Deadline: 12 October 2012
saure.3emultimedia.net

1st Cartoon Africa Int’l Biennial Festival & Contest
Theme: UNITED STATES OF AFRICA: Matters Arising / Against Violence Against Women / The Africa I See / My African Creativity/Concept / Free
Deadline: 23 October 2012
www.cartoonafricabiennial.org

NEW International Sport Drawing and Sports Graphic Humour Competition
Theme: Sport
Deadline: 31 January 2013
concurs.ufec.cat

Sumber: ecc-kruishoutem.be

Animasini Animasono

Animasi Indonesia - "Meraih Mimpi".

Catatan ini menjadi pelajaran bagi para kreator negeri ini. Heboh Pak Raden sebagai kreator dan "bapak" dari Si Unyil yang sengsara hidupnya di masa tua, seperti menampar Pemerintah. Selama ini siapa yang paling sering mengadakan razia karya bajakan supaya dianggap care tentang hak cipta? Memang aparat; tetapi aparat adalah representasi dari Pemerintah itu sendiri. Lha kasus Pak Raden yang ada di depan mata Pemerintah (PFN - Perusahaan Film Negara) mengapa nasib hak ciptanya sangat merana? Lalu untuk apa selama ini sibuk merazia produk bajakan, kalau persoalan yang dekat dan ditonton rakyat seluruh Indonesia, Pemerintah sangat abai dan tak mau tahu?  Hanjriiiit banget memang! Akhirnya semua orang berpikir, supaya dapat perhatian Pemerintah orang harus teriak-teriak dengan mulut menganga seperti kuda nil dan mata melotot seperti kodok yang mau mencolot!

***

ANIMASI Jepang di sono, animasi Indonesia di sini, bertemu dalam belanga, eh, di Galeri Cipta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta tahun-tahun laluuuuu banget. "Dalang" dari pertemuan yang unik itu, tiada lain daripada Pusat Kebudayaan Jepang bekerja sama dengan Anima (Asosiasi Animasi Indonesia). Buat apa dua "kutub" itu ditemui-temuin? Panjang ceritanya.
Konon, Jepang yang telah memiliki sejarah animasi dan perkartunan lebih lama, ditunjang sumber daya manusia, etos kerja dan infrastruktur yang oke punya, ditambah lagi kredibilitas politik ekonomi yang sudah di atas angin, ditambah lagi bargaining power yang lebih aduhai, saat ini -- di mata dunia -- memiliki positioning yang jelas lebih mantap. Jadi, kalau animasi Jepang ditemukan dengan animasi kita, pasti, semua paham, siapa yang akan bertanya pada siapa; siapa yang harus memberitahu siapa; siapa yang harus mengajari siapa. Begitu, kan?
Tunggu dulu. Tidak seharfiah itu, faktanya. Ternyata, dua animator Jepang yang dikirim ke Indonesia, Yoji Kuri, 67 tahun, dan Taku Furukawa, 54 tahun, tergolong "mahluk" yang langka. Mereka bukan animator "buas", yang tahunnya cuma cari keuntungan finansial atawa lihai menangguk untung. Atawa juga bagian dari agen industrialisasi. Bukan. Ekstremnya, keduanya adalah animator idealis; yang hanya menghasilkan karya animasi bermutu dan bercorak kesenian. Jadi, nggak ada hubungannya dengan Doraemon atau tokoh kartun komersial lainnya.
Kenyataan ini, jelas eksotik; dan pasti mengagetkan, juga. Terutama, kalau kita lalu membandingkannya dengan animasi kita, baik itu karya PPFN (Perum Produksi Film Negara), Dwi Koendoro, Denny A. Djoenaid, Grup PT Index, Gema Cipta Media Animasindo, Gotot Prakoso, Wagiono dan lain-lain, yang tak seluruhnya berpretensi berkesenian atau tak seluruhnya menghasilkan karya komersial (iklan). Animasi-animasi kita, yang rupanya juga sudah bergerak ke arah semangat komputerisasianisme maupun sebagian yang masih manual-eksprementatif, tiba-tiba lalu terkesan "hingar-bingar" ketika berhadapan dengan karya Kuri dan Furukawa yang tenang, percaya diri dan efisien.
Dalam konteks ini, tentu bukan maksud awak mau mendikotomikan karya sono dan karya sini, bukan. Namun, konsistensi animator Jepang pada eksotisme teknik manual dan mengangkat ide-ide sederhana -- dalam arti bertolak dari realitas sehari-hari -- kok ya, masih ada. Masih percaya diri, bahkan, masih bangga. Ini sangat kontras dengan kesan umum yang muncul dari semangat industrialisasi Jepang yang begitu gegap-gempita. Ketambahan lagi, kalau merujuk biodata penghargaan internasional/nasional yang sudah pernah diperoleh dua animator ini, ternyata juga kagak main-main.
So, itulah. Diskusi dan tukar pikiran pun jalan dengan mulus. Peserta memperoleh masukan dasar pembuatan animasi kartun/gambar dan satu permainan dasar animasi ala Jepang yang disebut "Odorokiban", berisi lingkaran kertas hitam berlobang tiga mili (mirip jeruji pendek) yang di tengahnya ditempelkan gambar animasi melingkar. Ketika lingkaran kertas itu diputar dan kita menonton dari pantulan cermin, akan muncullah efek-efek animasi dari gambar yang kita bikin itu. Sederhana tampaknya, namun ia menjadi peletak dasar pembuatan animasi, di mana pun. Sespektakular apa pun. Apa istilah permainan itu di tempat kita? Sebut saja: bioskop kertas putar, kalau diterima. Kalau nggak, yang mutar sendiri.
Jepang memang punya tradisi berkarya semacam itu. Dari obsesi personal ke lembaga. Dari rumah ke pabrik. Dari studio rumahan, sampai ke studio raksasa. Merujuk tulisan Frederick W. Patten, pustakawan Kalifornia, yang di antaranya menekuni secara "melotot" animasi Jepang, dalam tulisannya Full Circle: Japanese Animation from Early Home Studios to Personal Workshops for Home Video dibahas tuntas peta perjalanan animasi Jepang sejak awal hingga perkembangannya dewasa ini. Sejak mula pergerakan Zenjiro Yamamoto, Kosei Seo, Noburo Ofuji, Wagoro Arai, Kenzo Masaoka, hingga ke era-era berikutnya termasuk era Yoji Kuri, Taku Furukawa dan Osamu Tezuka.
Pada saat demo pemutaran film animasi Yoji Kuri -- terkumpul dalam album The Maniac Age dan Taku Furukawa dengan judul seperti: Sleepy, Beautiful Planet, The Bird, New York Trip dan lain-lainnya, kita disuguhi sesuatu yang menggembirakan: kebebasan ekspresi. (Iya aja,  karena di Jepang tidak ada istilah SARA). Pada karya Yoji Kuri, kebebasan itu tampak jadi agung dan mendalam. Bagaimana ia mengekspresikan "kebuasan" dan keliaran humornya. Sehingga, meski sadistis itu relatif, kelucuan yang kita dapatkan usai menonton episode demi episode karyanya sangat los dan optimal. Tak ada beban. Tak ada kerikuhan. Humor ya humor. Lucu ya lucu! Wilayah yang bebas dari beban dan pretensi.
Apa efek moralnya bagi animator kita? Banyak sekali. Yoji Kuri, bahkan memberi catatan khusus pada saat presentasinya, bahwa sebaiknya, animator Indonesia berpikir untuk membuat karya yang khas dan mempunyai ciri sendiri. Tidak perlu harus ikut arus global. Tidak perlu dengan biaya yang gila-gilaan. Pesan yang menarik. Karena, itu juga pernah dibuktikan, baik oleh Yoji Kuri maupun Taku Furukawa, pada saat keinginan membuat animasi begitu menggebu tapi biaya tidak ada, mereka pun mencari jalan keluar yang indah: menggambar animasi di atas buku tulis. Hasilnya, malah dianggap unik.
Darminto M Sudarmo



Kartun Instalasi Sibuk Mencari Dimensi

Salah satu karya instalasi interaktif

TIBA-TIBA istilah dimensi menjadi penting ketika orang bicara soal kartun instalasi. Mahluk apa lagi, ini? Kata "kartun" dan "karikatur" saja masih ruwet pengertiannya, kenapa sudah melompat ke dalam lintasan pemikiran yang begitu ngoyo woro? Kartun banyak dimensilah, kartun instalasilah, primitif 2.000-lah...Dekonstruksi macam apa lagi, sih?
Tenang, man. Penjelajahan kan perlu terus dilakukan. Toh orang nggak pernah mengenal kata puas. Di sejumlah disiplin kesenian, orang juga perlu bergerak, menggeliat, meski hanya sekadar membunyikan tulang dan mengendorkan otot: krek!
Senirupa, bikin instalasi. Maka, sekarang jarang terdengar kata pelukis karena kata perupa lebih adaptif kepada kemungkinan sejumlah eksplorasi. Teater, bikin sejumlah terobosan dan tawaran karena dianggap tradisi hanya memberikan kemandegan-kemandegan. Musik bikin sejumlah eksperimentasi, karena prinsip nada diatonis dan pentatonis hanya memberikan kamar yang sempit bagi keinginan rasa yang tak terbatas pinggir tepinya. Sejumlah ahli pikir, perlu memutar lagi beberapa "kecerobohan-kecerobohan" para pendahulu dan mengurasya dengan formula baru yang dianggap lebih valid dan lebih tokcer.
Humor tak mau kalah. Kartun tak mau ketinggalan. Entah ini, sebuah kelatahan atau dorongan evolutif, namun sejumlah jurus pun ditempuh untuk mengantisipasi dan meramaikan "zaman baru" yang diperkirakan memberikan lebih banyak pilihan, lebih banyak kemungkinan.
Humor itu apa, kartun itu apa, menjadi tidak penting lagi. Ia bisa terikat kepada sistem nilai individual atau massal. Humor bisa berarti bukan apa-apa, tanpa adanya perangkat-perangkat di sekitarnya. Kartun bisa menjadi bukan kartun kalau ia tidak memiliki sejumlah unsur yang membuatnya bisa disebut kartun.
Kenisbian ini bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Ia sebenarnya sudah ada sejak nilai yang berlaku dalam suatu peradaban tidak menyadari keberadaannya. Celah ini memberi kelonggaran, bahwa ada bagian yang sangat asasi di dalam tiap individu atau massa, yang tak boleh didikte oleh pengertian temporer yang telanjur disepakati pada kurun tertentu. Begitulah, "zaman baru" itu ditiupkan.
Zaman apa itu? Zaman yang mengajak kita konon harus terus bergerak, berdansa, menyanyi, berlari-lari, atau paling tidak bukan teler atau membatu kayak arca. Karena tak ada kehidupan tanpa gerak. Jantung berdenyut, darah bergerak-beredar, pembakaran berlangsung, metabolisme, oksigen, semuanya memenuhi tuntutan prinsip dinamisasi sekalipun secara fisik mungkin kita sedang tidur mendengkur.

***

KEHIDUPAN ogah cuti. Persis seperti bulan dan matahari. Kalau humor dan kartun mau hidup, ia tidak boleh mandeg, apalagi ngambeg. Setiap yang mandeg adalah selesai. Kalau sudah selesai, berarti penonton pulang. Jangan pula lupa, kehidupan bagi jantung, bagi darah, bagi paru-paru, berbeda dengan kehidupan mahluk supramuskil yang bernama kreativitas. Jadi, jangan ngaco.
Kreativitas, tak pernah muncul dengan dandanan yang sama. Tak ada kata ideal untuknya. Ia adalah ketakterdugaan yang selalu mengagetkan. Ia memuat sejumlah tawaran yang kadang membuat kita belum tentu siap menerimanya. Ia adalah kemuskilan, juga kecerdasan, keindahan, bahkan kadang kearifan.
Rutinitas bagi kreativitas adalah perubahan, pengembangan, pengendalian, penggalian, pemeliharaan, bahkan pengembaraan tanpa batas. Sumpah, benar-benar tak terjamah. Rahasia ilahiah, deh. Namun sekaligus liar bak siluman tanpa rumah. Rutinitas, selama itu bukan dilakukan oleh mesin atau fungsi-fungsi mekanisme, rupanya telanjur dipahami oleh sejumlah orang pemuja orde modernitas sebagai: kematian dalam hidup. Sebuah kecelakaan yang telah terjadi sebelum orang mengalaminya. Humor dan kartun ogah yang begitu itu.
Mungkin begitu, mungkin tidak. Kalau di Semarang kemudian kita dengar ada perhelatan "Pesta Humor" dengan kartun banyak dimensi. Bahkan menandai event penting dengan "Primitif 2.000", mungkin ini sebuah perjalanan yang kelewat bergegas.
Apa yang muncul, adalah fantasi-fantasi futuristik yang miring. Namun, kalau orang mengendapkan persoalan secara substansial, apakah hanya dalam batas itu pemahaman tentang kartun banyak dimensi atau kartun instalasi menancapkan eksistensinya? Segala yang dianeh-anehkan sebagai sesuatu yang mungkin dianggap baru pada saat ini dan dituduh lapuk pada zaman nanti?
Perlukah orang memisahkan pengertian bahwa kebudayaan, peradaban itu terdiri atas yang primitif dan modern? Padahal, menurut yang empunya cerita, trend temporer itu sangat nisbi dan maha relatif; bahwa semua itu sebenarnya bisa dianggap sebagai lelucon yang tak kenal duduk perkaranya hati nurani peradaban. Kok?
Perlukah dimanyunkan lagi, bahwa dikotomi kata "ini" dan "itu", seperti halnya "primitif" dan "modern" bila keseleo taruh, jangan-jangan malah bisa menambah beban tambahan persoalan, yang pada akhirnya: hanya akan menghabiskan waktu; padahal, waktu tak pernah habis ( ready stock dah, pokoknya). Semoga, humor dan kartun, bukan menjadi bagian paling naif dari mekanisme garis edar planet kreativitas di antara seni-seni lain, karena sebenarnya ia adalah poros dari konstelasi segala energi. Segar, luwes, adaptif, dan tidak suka gagah-gagahan. Menurut aturan mainnya, sih, begitu; entahlah, kenyataannya.
Darminto M Sudarmo

KETIKA HANKAMNAS MABUK BIR

Monumen dari botol bir
Sentilan dari perupa Agus Suwage

JUDULNYA gagah dan seram: Monumen yang Menjaga Hankamnas – Pertahanan dan Keamanan Nasional. Seperti apa sih barang untuk keamanan tingkat nasional itu? Ternyata hanya tumpukan botol bir yang nyaris menyentuh plafon, langit-langit Nadi Gallery, Perumahan Puri Indah, Jakarta, tempat monumen bernuansa hijau itu dipamerkan.
Adalah Agus Suwage, perupa lulusan ITB (1986) kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, memamerkan karyanya hingga 30 April lalu. Kenapa botol bir? Kenapa membentuk piramida dengan 13 tingkat? Kenapa botol berwarna hijau serta lampu di dalam piramida mencorong warna hijau pula? Kenapa pula piramida setinggi tiga meter lebih itu ada kerangka manusia nongkrong dengan kepala dibalur putih dan memegang pedang emas?
Suwage—yang kurang suka dengan media konvensional—mencoba dengan unsur lain. Dan, pameran tunggal bertajuk Daur itu lumayan menggelitik. Selain sebagai kritik dari perupa yang sebelumnya berpameran dengan tajuk Illuminance di Jogja dan The End is Just Beginning is The End di New York, AS, sebagai rangkaian pamerannya ini, “Keterikatan dengan karya-karya Suwage dari masa sebelumnya jauh lebih kompleks,” kata Enin Supriyanto, kurator pameran.
Bagi sang seniman, soal isi (dalam botol?) merupakan sikapnya terhadap intoleran pihak-pihak tertentu dalam masyarakat kita. Kloplah sudah dengan monumen Hankamnas itu, kan? Bagaimana kekerasan di Cikeusik, Pandeglang, Banten, Kuningan, Jawa Barat; Madura, dan beberapa di antara yang dapat kita lihat, di antara mereka acap mengklaim sebagai penjaga kesucian, seperti tidak dalam keadaan sadar alias mabuk (bir).
Tembok ToleransiRangkaian berikutnya, Tembok Toleransi, makin menebalkan dan menabalkan sikap Suwage tersebut. Bagaimana tembok tiruan dari seng berkarat, lalu ada sejumlah daun telinga terbuat dari kuningan menempel di tembok ruangan. Coba mendekat ke “telinga-telinga” itu, kok ada sayup-sayup suara orang azan? Mudahlah kita menafsir apa maksudnya.
Dalam pameran tunggal ini, Suwage hanya menampilkan lima karya. Satu di antaranya sebuah lukisan Pemandangan Duniawi . Media yang digunakan cat minyak, namun dasarnya bukan kanvas seperti umumnya, melainkan selembar seng cukup besar, sekira enam pintu kamar. Nah, di sana ada sejumlah tokoh perupa S Sudjojono, Frida Kahlo, Vincent van Gogh, hingga Pablo Picasso.
Suwage selalu menyentak dengan karya-karyanya. “Pertahanan” kita perlu diperbaiki, kalau tak ingin disentil oleh sang seniman berusia 53 tahun ini. Sungguh! - M Djoko Yuwono



AyuWage Services - Get Paid to Visits Sites and Complete Surveys