SECANGGIH APAPUN PERALATAN DAN TEKNOLOGI TETAP SEBUAH ALAT

KOMPETISI TETAP HARUS TERJADI

KREATIVITAS MANUSIA YANG MEMBEDAKANNYA

ADA YANG MENANG DAN KALAH ITU BIASA

MAKNA HIDUP HADIR BILA KITA BERAKTIVITAS

Monday, April 27, 2009

Cekakak-cekikik dengan Priyanto Sunarto


Doktor yang Tidak Nyuntik


Oleh Darminto M. Sudarmo

Kartunis Pri S pasti tidak asing lagi bagi Anda penggemar kartun Indonesia. Kartunis yang bernama lengkap Priyanto Sunarto, kelahiran 10 Mei 1947 ini, ternyata bukan hanya kartunis beken; ia juga seorang pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB), pegrafis yang andal, penulis dan konseptor visual yang membanggakan. Usai menyelesaikan S3-nya dengan disertasi “Metafora Visual Kartun Editorial pada Surat Kabar Jakarta 1950-1957” suami dari seorang istri bernama Euis Sukmadiana ini, pernah mengalami sakit serius. Orang menyebutnya stroke; tetapi berkat upaya yang gigih untuk sembuh, sekarang kesehatannya semakin membaik. Dan sang istri, yang kini selalu mendampingi ke mana pun Pri S melakukan aktivitas, benar-benar aktif menjaga dan merawat suaminya supaya terhindar dari makanan atau minuman yang dilarang dokter. “Yah, namanya seniman, kadang-kadang muncul bandelnya; suka nekad, terutama kalau Pak Pri lihat kacang; tak tahan dia untuk tidak mencicipi,” ujar Nyonya Euis lebih lanjut sambil senyum simpul.
Bagi penulis, Pri S kini sudah kembali ke posisi semula; artinya, sudah back to basic; yaitu Pri yang suka bercanda, riang dan tak jemu menebar tawa bila bertemu dengan kawan-kawan seprofesinya. Para kartunis secara bergurau suka menyebut dirinya “orang gila”, jadi wajar kalau mereka bertemu suasana langsung seru. Sesekali ledek sana, ledek sini, lalu gerrr! Dan itulah dunia orang-orang kreatif yang otak dan hatinya tak pernah berhenti bekerja memunculkan gagasan-gagasan segar, baru, dan terutama nakal (tapi genial).
Untuk lebih jauh mengenal Pri S, Kartun Indonesia memuat wawancara khusus dengannya; semoga Anda dapat menikmati dan mengambil manfaat dari obrolan yang unik ini.

Di antara tiga bidang seni: desain, seni rupa lukis dan kartun mana yang paling diminati Pak Pri habis-habisan? Mengapa?

Tak ada yang habis2an, ntar belum mati dah habis... ngartun sih termasuk kewajiban yg dinikmati. Gambar bebas sesukanya, di kertas ato di kanvas dikerjakan kalo luang. Biasanya kalo rumah lagi sepi,karena gak tenang kalo diliatin orang, gak bebas gituuu. Desain sih sekarang lebih banyak supervisi daripada ngoprek langsung. Baru mau ikut ndesain sendiri kalo proyeknya asik menantang aja, ogah yang rutin...

Kalau menengok minat di masa remaja dulu, sebenarnya Anda berkeinginan menjadi apa, kartunis, pakar desain, pelukis, dosen atau lainnya? Mengapa?

Dari kecil sih suka gambar, tapi cita-cita jadi supir truk, bisa jalan-jalan kemana saja yang jauh, bebas... Saat SMA, 1962, gabung dengan sanggar gambarnya Pak Ooq (Dukut Hendronoto), gaul sama pelukis. Masuk ITB 1965 juga bayangannya jadi pelukis, tapi dibujuk Mas Tanto masuk Grafis. Sebagai sesama penggemar kartun saya nurut. Selain belajar seni grafis, studio grafis jaman dulu sih diajarin desain juga, desain grafis. Saya lulus dengan proyek ilustrasi karya sastra: Danarto, Sutardji dan George Orwell. Jaman itu sastra dianggap keren, eksistensialis, kaum absurd.. Begitulah akibat gaul sama sastrawan. Niatnya setelah lulus ke Jakarta, tempat uang bertebaran bebas. Pak Pirous keburu menawarkan saya ikut membantu membuka studi desain grafis. Sama suhu tak bisa nolak, terpakulah saya di kota mojang priangan ini. Tapi tetep aja bolak-balik jakarta-bandung, train-set (bukan jet-set), sampe sakarang... Jadi kalo ditanya kenapa jadi begini, tak ada alasan jelas, sekedar terjebak nasib dan mencoba melakoni dengan baik saja, Oooooooh dasar nasib...

Tahun 1973 Anda lulus dari ITB sebagai sarjana seni rupa, tetapi dalam CV Anda pada tahun tersebut juga tercatat sebagai Staf Pengajar di FSRD-ITB untuk program studi Desain Komunikasi Visual, bagaimana kisahnya ini?

Waktu 1973 semua lulusan disebut sarjana seni rupa saja, embel-embelnya tercatat di ijasah. Begitu lulus jadi guru bantu FSRD, jadi ngajarnya ngacak apa saja. Tapi yang terbanyak ngajar di desain grafis. Baru 1983 desain grafis ganti nama jadi desain komunikasi visual, karena ada materi kuliah televisi dan animasi. Saya bantu Pak Suyadi (Pak Raden) di kuliah ilustrasi dan animasi. Ya masih primitip lah animasi celluloid dan kamera 16mm. Tahun 1980 mana ada komputer, semua pake tangan. Yang sulit ya memotivasi mahasiswa supaya bersemangat gambar sekitar 1000 halaman untuk bikin animasi lima menit. Baru tahun 90an animasi bisa pake komputer. Sekarang animo animasi dan multimedia makin marak... Meski DKV berkembang pesat, kuliah kesayangan saya tetep ilustrasi...

Seperti halnya seni-seni lain yang tipikal, kompleks dan penuh dinamika, di desain tentu ada hal yang memusingkan tetapi sekaligus mengasyikkan? Begitu juga di seni lukis dan seni kartun?

Ya sama ya beda, semua mengasyikkan dan memusingkan kalo mau pusing, kalo gak mau hasilnya rutin aja ya harus siap pusing, mau bikin kartun, gambar bebas, desain... Bedanya cuma di setting pekerjaan, dan bagaimana meng-explore imajinasi. Besok 8 november saya diminta jadi moderator diskusi Art vs Design di Jakarta. Rupanya teman-teman tahu saya ada di dua dunia itu, dan pasti tak berani memihak ke salah satu kubu. Makanya dipasang di tengah... Sebetulnya kalo kita serius melakukan sesuatu demi kesenangan diri (bukan orang lain), beberapa hal pun bisa kita nikmati sama kok, semua sama asiknya. Kita jadi tertantang karena tiap medium punya ciri, kelebihan dan keterbatasan sendiri. Lumrah laaa, berkebon juga punya kepusingan dan keasyikan sendiri kan? Coba tanya Bu Praba...

Orang awam memahami seni dari kategori sederhana; yakni seni masa lalu, masa kini dan masa mendatang (eksperimental/kontemporer dll); sebenarnya bagaimana seharusnya memahami apresiasi tentang seni (khususnya seni rupa secara umum) yang benar menurut Pak Pri?

Hehehehe, di seni itu segalanya benar, yang membuat beda cuma ketemu dengan aspirasi pelihat ato nggak? Membagi seni dari kurun waktu ya bener juga, yang jadul, yang modern, yang hiper-modern, boleh saja. Memahami seni bisa gampang kok, buat orang awam ya apa yang menyenangkan hatinya. Yang merasa sudah tidak awam ya cari kriteria lebih canggih untuk “memahami” seni: kebaruan, kecanggihan, kefilosofian, keanehan, kegilaan, ke’muri’an.. Makin canggih kepiawaian kriteria makin butuh pakar, kritikus, kurator dan kalo banyak duit jadi kolektor (bisnis dan bursa seni). Kadang seni memang buat dikagumi, meski belum tentu dipahami. Kayaknya semua benar-benar aja deh, memahami juga terserah masing-masing kan?

Di perguruan tinggi seni rupa, tersedia jurusan Seni Murni, Desain Komunikasi Visual dan lain-lain, jurusan untuk Ilustrator (Majalah, koran, buku dll) sepertinya belum ada; mengapa demikian? Bukankah di masyarakat serapan untuk tenaga ilustrator sangat menjanjikan?

Mungkin tahun depan IKJ akan buka jalur studi Ilustrasi, cita-cita almarhum S. Prinka sejak limabelas tahun silam. Yang ragu buka jalur ini justru institusi, takut gak laku. Masalahnya, mental bangsa kita kan masih feodal. Buktinya semua orang pingin pake gelar sarjana sampe profesor, beli pun jadi. Ini kan feodalisme baru. Akibatnya institusi enggan bikin program diploma, sarjana muda gak keren.. Bidang yang laku dan bergengsi juga dokter, insinyur, ekonomi, hukum. Seni rupa gak direken. Baru sejal 1990an DKV jadi sekolah idaman remaja. Tapi ilustrasi tetep bukan pilihan. Pertama, banyak yang masuk DKV gak pinter gambar. Banyak yang pinter gambar ogah jadi tukang gambar, derajatnya tukang. Untung anak sekarang lebih jeli liat peluang. Di era komputer sekarang segala serba canggih tapi generik dan dingin. Orang kangen lagi pada goresan tangan. Tenaga ilustrator handal jadi nilai tambah di industri komunikasi visual. Kebetulan banyak alumni IKJ yang jadi ilustrator profesional di ibu kota, dan mau bantu mengembangkan profesi ilustrator.

Begitu juga melihat perkembangan seni kartun, sepertinya juga cukup baik prospeknya; mengapa jurusan (khusus) untuk seni kartun, sepertinya juga belum ada di perguruan tinggi seni di Indonesia; mengapa demikian?

Ya sama saja alasannya, ngapain sekolah tinggi-tinggi cuma jadi kartunis. Di masyarakat kartun dan komik kan masih dianggap buat anak-anak, seni yang tidak serius. Di tengah pendapat negatif ini, anak sekarang juga lebih condong ke komik, utamanya manga. Makin aja kartun tersisih. Temen-temen dari Kyoto Seika punya keluhan sama tentang political cartoon dan single framed cartoon, di Jepang tak lagi populer. Orang bosan bicara politik, lebih suka yang santai asik-asik aja. Mereka di jurusan kartun Kyoto bersatu menggalakkan kartun, dan punya dana untuk itu. Di Indonesia pun minat lulusan seni rupa ke kartun politik mulai menurun. Kebanyakan memilih jalur kartun lelucon, kartun untuk branding dan maskot, kartun sosial seperti Benny n Mice, atau jalur komik. Balik ke pertanyaan, kenapa gak ada sekolah khusus kartun? Ya itulah, kartun dianggap gak serius, gak gengsi, gak menjamin masa depan... Coba tanya anaknya Mas Kelik (Pos Kota), maukah jadi kartunis? Anakku sendiri jawabnya “made su”, masa depan suram...
Kalo jadi kartunis humor/gag banyak yang minat. Liat aja peningkatan kualitas kartun di majalah hiburan, pakaian, distro, game, toys, merchandise. Tapi kartun politik kan langka. Mungkin karena sudah gak jaman politik panglima lagi, sekarang kan jaman korupsi panglima. Anak sekarang asuhan budaya global, nggak terlalu peduli politik. Kata ideologi, partai, nasionalisme, sudah kurang bersinar di kepala anak muda, gak fun katanya. Lagi pula kartun politik lebih sulit bikinnya, mesti tau konteks politik, membaca baca situasi di belakang panggung, menakar penangkapan pembaca, mengukur kepekaan situasi, wah pusing dah... Udah jadi belum tentu diapresiasi. Makanya enakan jadi kartunis lucu-lucuan aja katanya, asal orang senyum hatinya gembira, sukses.`.

Mungkin ini agak menyimpang sedikit, menurut Pak Pri (pribadi), sebenarnya apa saja pertimbangan di tingkat konseptor kurikulum dan silabus untuk perguruan tinggi seni di Indonesia, sehingga jurusan-jurusan seperti ilustrasi, kartun dan lawak seperti disebutkan di atas terkesan dinafikan dan tidak dilirik sama sekali?

Dua alasan kuat. Satu dah dijawab di atas. Ke dua, guru yang bisa ngajar ilustrasi yang bagus juga langka kan? Kalo bikin satu jurusan, minimal harus ada lima yang menguasai bidang itu, berikut praktiknya, bukan teori doang... Yang jago gambar belum tentu pinter ngajar, juga belum tentu mau ngajar. Ngajar itu gajinya tau sendiri la, juga kalo muridnya pinter kan nambah pesaing di pasar (^__^)

Begitu berjubelnya aktivitas Pak Pri di pekerjaan, keanggotaan profesi, komunitas kartun, keluarga dan lain-lain, bagaimana kiat Anda membagi waktu sehingga semua bagian kebagian jatah?


Waktu sih berjalan terus, tinggal pinter-pinter mengisinya. Waktu masih full energy gak ada masalah, kerja 18 jam sehari oke. Sekarang tenaganya sudah berkurang ya mesti ngurangin kegiatan, pilih-pilh mana yang paling manfaat buat orang. Sukur aja masih kepake, masih ada yang butuh juga.

Di antara berderet prestasi di bidang desain grafis/visual, seni lukis dan seni kartun, bagian-bagian mana saja yang Anda anggap sangat mewakili totalitas eksistensi Anda?

Aduh tanyanya sulit amat, mana saya tau saya seperti apa dan bagian mana paling hebat? Ngaca aja hampir gak pernah, malu liat muka sendiri, peyot... Bener Mas, saya gak pernah tanya “ lu mau jadi ape?” kalo kebanyakan mikir gituan waktu habis. Jadi ya tiap hari kerjain aja yang diadepin. Saya ngikutin aja gimana situasi minta saya berperan apa, jadi tukang kartun, jadi guru, jadi babby sitter, joker, penggembira, kacung kampret, gimana ramenya aja... Kalo kecapean ato sakit ya brenti dulu istirahat, gak target-targetan, bisa stressssss...

Sudah sekian lama perjalanan, pencapaian dan persembahan karya Anda bagi insan persenirupaan Indonesia, masih adakah obsesi atau cita-cita yang belum terlaksana dan ingin Anda capai?

Entah ya... yang sampe hari ini belum tercapai ya cuma beresin kamar kerja sama perpustakaan yang acakadut. Perlu waktu dua minggu diem di rumah khusus beberes, dan itu gak mungkin. Sebagai cowok panggilan harus siap disuruh apa aja kemana saja. Obsesi terbesar ya pingin bisa santai ngerjain apa yang disuka, belum kepikir secara khusus ngapain, Gambar? Musik? Ngoprek? Tiduran di pinggir sawah sambil makan singkong bakar termasuk kenikmatan juga..

Mungkin Anda ada uneg-uneg tentang apa saja; apalagi tentang kartun atau kartunis atau pemerintah atau tetangga atau kawan atau orang di sekitar Anda dan ingin memberi komentar atau guyonan atau membuat karikaturnya, silakan memanfaatkan ruang yang tersedia ini....domo-domo arigato!

Gak ada, semua oke-oke aja, gak oke ya gapapa juga..... makasi juga... berarti per-topik, sesuai versi atau yang dianggap sreg para kartunisnya, khususnya kartunis-kartunis senior Indonesia; yaitu: Pramono R. Pramoedjo, GM Sudarta, Dwi Koendoro, Priyanto S, T. Sutanto dan Jitet Koestana. Kalo tentang Mas Tanto coba tanya Basnendar (Solo) yang bikin tesis tentang kartun T. Sutanto.


Biografi

Nama : Priyanto Sunarto
Lahir : Magelang , 10 Mei 1947
Pekerjaan : Staf Akademik Institut Teknologi Bandung (gol. IV/a)
NIP : 130682811
Alamat : Jl.Sekeloa 23, Bandung 40134, Indonesia
Tlp & facs : 022. 250 2771
Pendidikan : SMA. Kanisius, Jakarta, lulus 1965
: Sarjana Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, lulus 1973
Istri : Euis Sukmadiana
Anak : Ariani Savitri, Sakri Agiyanto, Munadi Aliyanto,
Kendi Maulanto, Andriyanto
Menantu : Achmad Turmudzi, Liliek Prihatini, Luci Merciana,
Widya Nugrahani
Cucu : Hilmy Muhammad Dzaki, Hasna Meisya Qotrunada,
Kaffi Fathir Raditya

Jabatan & Pekerjaan
Sejak 1973 Staf Pengajar di FSRD-ITB program studi Desain Komunikasi Visual
Sejak 1978 Staf Pengajar di FSR-IKJ Komunikasi Visual dan Seni Murni
1984-1990 Ketua Program Studi Desain Komunikasi Visual FSRD –ITB
1991-1993 Ketua Program Studi Desain Komunikasi Visual FSRD –ITB
1997 - Anggota Majelis Jurusan Desain FSRD-ITB
2005 - Ketua Majelis Jurusan Desain – FSRD-ITB
2005 - Anggota Senat FSRD-ITB


Penelitian
1979-80 Anggota Tim Riset “Penelitian Persepsi Gambar pada Masyarakat Pedesaan”
(UNICEF & Jurusan Komunikasi Massa FISIP-UI.)
1984 Anggota Tim Survei Inventarisasi Desain di Jawa Timur (FSRD-ITB&BPEN)
1991 Ketua Tim Survei Budaya Korporat PT. Perumpel wil-III & IV
1995 Ketua Penyusun Jabatan dan Kompetensi Desain Grafis (Dikmenjur)
1997 Ketua Peneliti Desain Perajin Stempel di Bandung (LPPM-ITB)
2002 Ketua Penyusun Jabatan dan Kompetensi Komunikasi Grafis (Dikmenjur)


Penghargaan:
1969 : Penghargaan karya grafis terbaik Pameran tahunan Seni Rupa ITB
1971 : Penghargaan karya grafis terbaik Pameran Generasi Muda 1971, Jakarta
1977 : Pemenang logo 450 tahun kota Jakarta, Pemda DKI. Jakarta Raya
1978 :Pemenang logo Asosiasi Kontraktor Indonesia ( AKI ), Jakarta
1981 : Penghargaan unique design, Lomba Logo “Regional Da’wah Council of Southern Asia and Pacific (RISEAP ), Kualalumpur
1982 : Juara-2 lambang Sumpah Pemuda, Menteri Muda Pemuda dan Olahraga.
1983 : Penghargaan IKAPI untuk desain & ilustrasi terbaik buku “ Humor Sufi”
1985 : Juara-2 lambang PT. INDOSAT, Jakarta
1988 : Kartun Editorial terbaik-1 tahun 1987 PWI Jaya
1989 - 1992: Kartun Editorial terbaik unggulan 2/3 PWI Jaya
1993 : Kartun Editorial terbaik-1 tahun 1992 PWI Jaya
1994 : Kartun Editorial terbaik-2 tahun 1993 PWI Jaya
1992 : Penghargaan IKAPI desain buku & ilustrasi terbaik 1992 “Mengembara ke kaki langit” (Grafiti)
2003: Kartun Editorial terbaik-2 tahun 2002 PWI Jaya


Karya Desain Grafis

Buku, Ilustrasi dan Desain Cetak lainnya: Desain Buku bersama S. Prinka & Ilustrasi "Saat Menuai Kejahatan" kumpulan esei kriminologi karya Yesmil Anwar (2004), Desain Buku & Cover “Perjalanan Malam Hari” kumpulan esai Arsitektur karya Yuswadi (2003), Maskot “Pemilihan Umum 2004” (2003), Maskot "Aqua Peduli", Citra Lintas (1997), Maskot Alumniade ITB (1997), Cover Design: Madhep Ngalor Sugih,Madhep Ngidul Sugih karya Umar Kayam(1997), Ilustrasi kampanye AQUA PEDULI(1996), Desain & layout buku G. Sidharta (1996), Cover Design buku-buku ekonomi karya Sjahrir (1995), Sugih Tanpa Bondho karya Umar Kayam ( Grafiti 1995 ), Ilustrasi Kalender harian Lippo Bank 1993 dan 1994, Baratayudha di Negeri Antah Berantah, Mangan Ora Mangan Kumpul ( 1993 ), Desain & ilustrasi Legenda Timor “mengembara ke kaki langit “ ( Grafiti 1992 ), Pengarah desain buku seri Fabel Grafiti Pers (1991-1992), Ilustrasi buku”Tikus Desa dan Tikus Kota” (1991) dan “Tikus membalas Budi “(1992 ), Kordinator kalender OK! dan Majalah Editor 1988, Design kalender Perumtel 1987, Buku Humor Mini “Langka Tapi Bohong” (Grafiti Pers, 1987 ), Desain Prangko Pavilion Indonesia EXPO’86, Vancouver (1986), Kontributor kartun untuk Kampanye Jamban Pribadi, Ditjen Cipta karya, “Tiada hari Tanpa jamban” (1986), Design & Ilustrasi kalender Perumtel 1985,Folder & Buku untuk Perumtel (1985-1986 ), Buku Pengantar Kapal Penumpang KM Rinjani (Ditjen Perla, 1984) ,design & illustrasi Kalender”Warna Agung” 1983, Desain & Ilustrasi buku “Humor Sufi” (Pustaka Firdaus, 1983 ), Buku Penerangan tentang Lingkup Senirupa (FSRD- ITB 1983), design & illustrasi Kalender”Warna Agung” 1983, Kontributor kartun Rubrik “Trio Tikus” majalah Zaman (1981-1983), Ilustrator Rubrik Indonesiana Majalah TEMPO (1981 - 1994), Kalender Pita “TEMPO” 1979, Kalender Pita Decenta 1978, Cover buku-buku Ilmiah PT Bina Cipta (1977-1978), Folder & Poster “Donor Darah” PMI Bandung (1976), Kalender ITB 1974, Kemasan Jamu Tradisional “Karoehoen” Bandung ( 1969 ), Cover dan Ilustrasi beberapa buku PT Jambatan dan badan Penerbit Kristen (1968-1971), Ilustrasi Bibliophile Pramudya Ananta Toer bahasa Prancis oleh “Alliance Francaise” (1968)

Logo: API "Asosiasi Pematung Indonesia" (2004), LSM “Jatiluhur” Pemberdayaan Prempuan (2004), "Joglo Progo" steak house, Bandung (2004), "Rich Cafe", Bandung (2004), Logotype Institut Teknologi Bandung (2003), Komunitas Penyiaran Jawa Barat “Balarea” (2002), Perusahaan ikan “Segara Iwak” Jawa Barat (2002), Pameran 70 tahun G. Sidharta (2002), Politeknk Seni Yogya (2001), Koperasi & Warung "Laos", Bandung (1999), Perusahaan Tanaman Hias "Tepas"(1999), 50 th Senirupa ITB (1997), “Kirim kabar,tulis surat” Pos dan Giro (1995), Graha Afiat Pradika (Info Kesehatan) (1994), Logotype Piala Vidia (Media Elektronik) (1992), PT Pramana dan Yayasan Seni Rupa Indonesia, YASRI (1991), Logotype Adhicipta, Adhikara, Adhidarma, Piala Persatuan Insinyur Indonesia (1991), Kintamani dan The Reefs di Hotel Bintang Bali, Kuta (1990), Asian Energy Institute-AEI, New Delhi (1990), PT Petrosol Geotechnique, Bandung (1987), “Banjar Gruppe”, kelompok musik avantgarde, Berlin (1986), Indonesia Pavilion EXPO’86 Vancouver (1985), Logotype Piala S. Tutur, Suryo Sumanto, Widya untuk FFI (1984), MTQ-XII, Banda Aceh (1980), Lembaga Humor Indonesia (1978), PT. Pacto Tour & Travel (1978), Berkala ITB ( 1976 ), “RUNA” Jewelry (1974), Logotype Piala Citra & Mitra untuk FFI (1974)

Kartun Indonesia di Era Demokrasi Parlementer

Oleh Priyanto Sunarto


Mengamati kartun editorial koran Jakarta tahun limapuluhan seakan menikmati pesta pora kebebasan pers. Koran dan kartun melempar kritik, cercaan bahkan tuduhan secara terbuka. Kartun sendiri sudah lama tampil di koran sebagai taman visual pelepas lelah dari membaca teks yang ketat linear. Tapi pada era demokrasi parlementer kartun sangat vokal dimanfaatkan sebagai alat menjatuhkan citra lawan politik. Kartun dengan bebas menyerang lawan, baik kebijakan maupun tokohnya. Masa itu Trial by the press seakan hal lumrah. Lelucon politik lewat kartun dieksplorasi dengan penuh semangat. Berkias (metafora) lewat gambar yang umumnya dipercaya sebagai upaya menghaluskan (sofistikasi) ungkapan, malah sering dipakai untuk memperkerasnya menjadi kasar.
Suasana kritik terbuka ini tak lepas dari peran partai-partai dan ideologi yang setelah usai perang kemerdekaan berebut pengaruh menentukan jalannya haluan negara. Baik nasionalis, sosialis, komunis, maupun golongan agama merasa punya hak sama dalam mengisi kemerdekaan. Partai berebut posisi untuk duduk dalam kabinet. Koalisi antar partai dan golongan dilakukan untuk menjatuhkan kabinet yang rata-rata umurnya tak lebih dari setahun. Konflik tak hanya terjadi antar partai, tapi juga antar tokoh senior dengan anggota muda separtai. Di tengah persaingan ini tentara pun mau ikut mengatur karena merasa berjasa merebut kemerdekaan. Sementara itu masalah internal tentara antara panglima pusat dengan daerah tak kunjung selesai. Masa yang sangat dinamis dimana kekuatan berbagai pihak berimbang mengakibatkan situasi tak pernah stabil dan penuh perseteruan.
Berbagai masalah yang muncul di negara muda menjadi bahan pertikaian antar golongan. Perubahan dari negara serikat menjadi negara kesatuan jadi masalah pertama, terjadi penolakan dari pimpinan negara bagian. Janji pengembalian Irian Barat tak kunjung terlaksana. Pemilihan umum tertunda-tunda. Rencana pakta pertahanan dengan Amerika (Mutual Security Act) ditentang banyak pihak yang anti Barat. Niat Angkatan Darat membubarkan parlemen 17 Oktober 1952 digagalkan Presiden. Pemberontakan muncul di berbagai daerah. Inflasi melambung, banjir barang impor sambil harga kebutuhan pokok makin mencekik. Korupsi pejabat dan kolusi merajalela, sementara kemiskinan terjadi dimana-mana. Peristiwa demi peristiwa tumpang-tindih tak terselesaikan. Berbagai issue negatif ini dijadikan senjata para oposan di parlemen untuk menjatuhkan kabinet melalui mosi tidak percaya. Silih berganti diangkat perdana menteri dan menteri-menteri baru. Dalam waktu tujuh tahun tujuh kali pula kabinet berpindah tangan.
Untuk bersaing merebut opini tiap golongan memanfaatkan koran sebagai media menyebarkan faham dan pendapat. Sejak masa penjajahan koran memang telah menjadi alat perjuangan melawan penjajah. Sikap demikian juga menonjol pada koran masa revolusi. Tahun limapuluhan koran digunakan pula sebagai alat kampanye partai atau koran partisan, misal Suluh Indonesia menyuarakan aspirasi PNI, Harian rakjat dan Bintang Timur mewakili golongan kiri, Abadi sebagai suara golongan Islam. Beberapa koran mencoba bersikap independen seperti Pedoman dan Merdeka, meski kadang cenderung ke salah satu pihak. Indonesia Raja bersikap anti kiri dan kritis terhadap pemerintah, terutama Soekarno.
Melalui koranlah kartun editorial berkiprah mengomentari berbagai kejadian, sesuai misi dan ideologi redaksi. Kartun mendapat kedudukan penting karena bahasa gambar lebih cepat ditangkap pembaca dibanding artikel tertulis. Beberapa koran meletakkan kartun pada halaman pertama atau setidaknya ke tiga. Harian rakjat hampir tiap hari menayangkan kartun. Teknik gambar dengan kuas lebih banyak ditampilkan daripada dengan pena, kadang juga crayon hitam dipakai untuk nada tengah. Kartun dicetak hitam putih sesuai kemampuan teknologi koran masa itu. Beberapa kartunis editorial yang menonjol antara lain Ramelan (Suluh Indonesia), Sibarani (Bintang Timur), Mieke Sd (Abadi), S. Soeharto (Indonesia Raja). Abdul Salam dan Dukut Hendronoto (Ooq) yang berkartun pada masa revolusi tak banyak berperan dalam perang koran Jakarta masa itu. Abdul Salam mengisi koran Kedaulatan Rakjat di Yogya, Dukut Hendronoto berkarya di majalah Angkatan Darat. Melalui koran-koran kartunis secara terbuka mengomentari situasi sesuai pandangan korannya. Seorang tokoh politik dapat diopinikan sebagai pahlawan di satu koran, sekaligus pecundang di koran lawannya. Burhanudin Harahap bisa jadi pahlawan pemberantas korupsi di Indonesia Raja, sementara di Suluh Indonesia diolok habis selayak pesakitan.
Gaya gambar kartun editorial yang muncul kebanyakan realistis mendekati ketepatan objek, baik manusia maupun kelengkapan sekitarnya. Sibarani sering lebih bebas tak terlalu taat anatomi lewat garis kontur spontan pena saja. Gaya garis demikian kemudian dikembangkan banyak kartunis editorial di era orde baru. Beberapa idiom kartun seperti tubuh besar untuk yang kuasa dan tubuh kecil mewakili rakyat, orang gendut sebagai koruptor, bersarung untuk golongan muslim, hidung panjang untuk orang barat, telah digunakan masa itu. Stereotype demikian masih kita jumpai pula dalam kartun masa kini. Yang menarik adalah, secara umum kartunis masa itu menampilkan profil wajah Indonesia dengan baik. Profil lokal juga sangat umum tampak pada gambar dan ilustrasi buku, majalah, koran dan iklan masa itu. Sepertinya para penggambar masa itu lebih “pede” pada ras sendiri daripada perupa masa kini.
Menggunakan binatang sebagai kiasan pun bebas dilakukan. Golongan Islam sebagai onta, Nasionalis banteng, Komunis beruang, politikus dibrongsong seperti anjing, Simbolon berwajah monyet, Rasuna Said kucing garong, Wilopo menyembunyikan kepala seperti burung onta, Hatta dimisalkan sebagai serigala induk Romulus Remus pendiri kota Roma. Padahal bagi orang Indonesia menggambarkan tokoh sebagai binatang dianggap penghinaan. Tetapi menyamakan golongan dengan binatang masih bisa diterima, seperti halnya di Amerika keledai mewakili demokrat dan gajah mewakili Liberal. Perbedaan masa itu dengan masa kini adalah penggambaran koruptor sebagai kucing, bukan tikus. Mungkin karena koruptor masa itu terlihat manis padahal maling, seperti kucing. Boleh jadi koruptor sekarang lebih menjijikkan seperti tikus.
Untuk pemindahan situasi dalam berkias kadang dipilih budaya setempat yang dikenal seperti lomba panjat pinang, perang partai jadi adu layang-layang, Hatta beradu silat dengan Aidit, kabinet Ali kehilangan muka, Bung Karno memukul tong kosong. Tapi banyak pula kartun yang menggunakan idiom global seperti plintiran poster filem Hollywood, lagu Barat yang sedang populer, Don Quischot de la BH, tiup lilin ulang tahun, bicara bahasa Belanda atau Inggris. Harian Rakjat dan Bintang Timur yang kiri pun kartunnya menggunakan idiom kota: Gone with the wind, kuda Troya, Pesta dansa-dansi PSI, serigala dan tiga babi kecil dari Walt Disney misalnya. Pembaca diharapkan dapat menangkap kendaraan kiasan budaya global tersebut. Ini menunjukkan bahwa permainan kartun ditujukan untuk golongan yang tinggal di perkotaan dan berpendidikan baik. Yang menonjol pada masa itu, berkias digunakan untuk memperkeras olokan. Sikap demikian berbeda dengan kartun masa matang orde baru yang umumnya lebih sembunyi-sembunyi, elipsis, metafora samar, dan eufemisme. Sindiran kartun masa demokrasi parlementer sangat terbuka, tunjuk hidung dan seringkali sinis.
Setelah pemilihan Umum suasana makin memanas. Masjumi yang sementara dianggap kekuatan terbesar hanya mendapat peringkat kedua di bawah PNI, karena ditinggalkan NU. PSI yang banyak berkiprah sebelumnya cuma di peringkat kedelapan. Sementara itu kabinet makin tak mesra dengan tentara, Pembelotan militer daerah kian marak, dibarengi penyelundupan melalui pelabuhan di luar Jawa. Dengan dukungan A.H. Nasution, Soekarno mengumumkan keadaan darurat perang (SOB) pada 14 Maret 1957. Sejak itu praktis kekuasaan negara berada di tangan presiden, dan surutlah kekuatan para penentangnya. Kaum Nasionalis dan Kiri terus mendesakkan tuduhan pada golongan sosialis dan Masjumi sebagai musuh negara, keadaan makin tak berimbang. Kartun editorial menjadi sangat sarkastik dan sepihak digunakan untuk memukul lawan politik Soekarno, pemimpin besar revolusi. Sejak dekrit presiden 5 Juli 1959 Indonesia memasuki era otoriter Demokrasi Terpimpin hingga tahun enampuluh lima.


AyuWage Services - Get Paid to Visits Sites and Complete Surveys