Salah satu karya instalasi interaktif |
TIBA-TIBA istilah dimensi menjadi penting ketika orang bicara soal kartun instalasi. Mahluk apa lagi, ini? Kata "kartun" dan "karikatur" saja masih ruwet pengertiannya, kenapa sudah melompat ke dalam lintasan pemikiran yang begitu ngoyo woro? Kartun banyak dimensilah, kartun instalasilah, primitif 2.000-lah...Dekonstruksi macam apa lagi, sih?
Tenang, man. Penjelajahan kan perlu terus dilakukan. Toh orang nggak pernah mengenal kata puas. Di sejumlah disiplin kesenian, orang juga perlu bergerak, menggeliat, meski hanya sekadar membunyikan tulang dan mengendorkan otot: krek!
Senirupa, bikin instalasi. Maka, sekarang jarang terdengar kata pelukis karena kata perupa lebih adaptif kepada kemungkinan sejumlah eksplorasi. Teater, bikin sejumlah terobosan dan tawaran karena dianggap tradisi hanya memberikan kemandegan-kemandegan. Musik bikin sejumlah eksperimentasi, karena prinsip nada diatonis dan pentatonis hanya memberikan kamar yang sempit bagi keinginan rasa yang tak terbatas pinggir tepinya. Sejumlah ahli pikir, perlu memutar lagi beberapa "kecerobohan-kecerobohan" para pendahulu dan mengurasya dengan formula baru yang dianggap lebih valid dan lebih tokcer.
Humor tak mau kalah. Kartun tak mau ketinggalan. Entah ini, sebuah kelatahan atau dorongan evolutif, namun sejumlah jurus pun ditempuh untuk mengantisipasi dan meramaikan "zaman baru" yang diperkirakan memberikan lebih banyak pilihan, lebih banyak kemungkinan.
Humor itu apa, kartun itu apa, menjadi tidak penting lagi. Ia bisa terikat kepada sistem nilai individual atau massal. Humor bisa berarti bukan apa-apa, tanpa adanya perangkat-perangkat di sekitarnya. Kartun bisa menjadi bukan kartun kalau ia tidak memiliki sejumlah unsur yang membuatnya bisa disebut kartun.
Kenisbian ini bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Ia sebenarnya sudah ada sejak nilai yang berlaku dalam suatu peradaban tidak menyadari keberadaannya. Celah ini memberi kelonggaran, bahwa ada bagian yang sangat asasi di dalam tiap individu atau massa, yang tak boleh didikte oleh pengertian temporer yang telanjur disepakati pada kurun tertentu. Begitulah, "zaman baru" itu ditiupkan.
Zaman apa itu? Zaman yang mengajak kita konon harus terus bergerak, berdansa, menyanyi, berlari-lari, atau paling tidak bukan teler atau membatu kayak arca. Karena tak ada kehidupan tanpa gerak. Jantung berdenyut, darah bergerak-beredar, pembakaran berlangsung, metabolisme, oksigen, semuanya memenuhi tuntutan prinsip dinamisasi sekalipun secara fisik mungkin kita sedang tidur mendengkur.
***
KEHIDUPAN ogah cuti. Persis seperti bulan dan matahari. Kalau humor dan kartun mau hidup, ia tidak boleh mandeg, apalagi ngambeg. Setiap yang mandeg adalah selesai. Kalau sudah selesai, berarti penonton pulang. Jangan pula lupa, kehidupan bagi jantung, bagi darah, bagi paru-paru, berbeda dengan kehidupan mahluk supramuskil yang bernama kreativitas. Jadi, jangan ngaco.
Kreativitas, tak pernah muncul dengan dandanan yang sama. Tak ada kata ideal untuknya. Ia adalah ketakterdugaan yang selalu mengagetkan. Ia memuat sejumlah tawaran yang kadang membuat kita belum tentu siap menerimanya. Ia adalah kemuskilan, juga kecerdasan, keindahan, bahkan kadang kearifan.
Rutinitas bagi kreativitas adalah perubahan, pengembangan, pengendalian, penggalian, pemeliharaan, bahkan pengembaraan tanpa batas. Sumpah, benar-benar tak terjamah. Rahasia ilahiah, deh. Namun sekaligus liar bak siluman tanpa rumah. Rutinitas, selama itu bukan dilakukan oleh mesin atau fungsi-fungsi mekanisme, rupanya telanjur dipahami oleh sejumlah orang pemuja orde modernitas sebagai: kematian dalam hidup. Sebuah kecelakaan yang telah terjadi sebelum orang mengalaminya. Humor dan kartun ogah yang begitu itu.
Mungkin begitu, mungkin tidak. Kalau di Semarang kemudian kita dengar ada perhelatan "Pesta Humor" dengan kartun banyak dimensi. Bahkan menandai event penting dengan "Primitif 2.000", mungkin ini sebuah perjalanan yang kelewat bergegas.
Apa yang muncul, adalah fantasi-fantasi futuristik yang miring. Namun, kalau orang mengendapkan persoalan secara substansial, apakah hanya dalam batas itu pemahaman tentang kartun banyak dimensi atau kartun instalasi menancapkan eksistensinya? Segala yang dianeh-anehkan sebagai sesuatu yang mungkin dianggap baru pada saat ini dan dituduh lapuk pada zaman nanti?
Perlukah orang memisahkan pengertian bahwa kebudayaan, peradaban itu terdiri atas yang primitif dan modern? Padahal, menurut yang empunya cerita, trend temporer itu sangat nisbi dan maha relatif; bahwa semua itu sebenarnya bisa dianggap sebagai lelucon yang tak kenal duduk perkaranya hati nurani peradaban. Kok?
Perlukah dimanyunkan lagi, bahwa dikotomi kata "ini" dan "itu", seperti halnya "primitif" dan "modern" bila keseleo taruh, jangan-jangan malah bisa menambah beban tambahan persoalan, yang pada akhirnya: hanya akan menghabiskan waktu; padahal, waktu tak pernah habis ( ready stock dah, pokoknya). Semoga, humor dan kartun, bukan menjadi bagian paling naif dari mekanisme garis edar planet kreativitas di antara seni-seni lain, karena sebenarnya ia adalah poros dari konstelasi segala energi. Segar, luwes, adaptif, dan tidak suka gagah-gagahan. Menurut aturan mainnya, sih, begitu; entahlah, kenyataannya.
Darminto M Sudarmo
keren bang artikelnya
ReplyDelete