ANDA pasti sudah mengenal kartunis Dwi Koendoro, bukan? Makhluk yang satu ini benar-benar tiada duanya di dunia. Ibarat tentara, dia punya banyak senjata. Dari senapan, pistol, belati hingga rantai untuk menjerat leher musuh. Itu dari senjata jenis ringan. Senjata berat: martir, meriam bahkan rudal dia punya. Maka untuk “melawan” musuh yang bagaimanapun dia siap. Dalam bidang seni juga begitu. Bukan hanya mengartun, menggambar ilustrasi, menulis, mengarang lagu, hingga menyutradarai film; bahkan untuk main film pun dia siap dan bisa! Pingin mengenal lebih seru tentang dia? Berikut wawancara yang khusus untuk Kartun Indonesia.
Melihat talenta Anda yang begitu banyak dan semuanya berjalan seperti yang Anda harapkan (kartun, ilustrasi, skenario, film, advertensi, animasi bahkan menulis lagu/musik) bisa Anda deskripsikan seperti apa sebenarnya susunan otak yang Anda miliki?
Sama dengan otak Anda. Otak semua orang. Yang agak ribet cuma terlalu banyak pintu, banyak lorong banyak kamar bak labirin. Tahun 1993 ada seorang wartawan dari Fukuoka, Jepang mewa-
wancarai saya sebagai kartunis. Salahnya dia datang di hari Selasa ketika saya lagi ngedit film. Dia bingung, saya juga bingung. Saya terangkan profesi harian saya selaku orang film. Jadi sah saya disebut sebagai Praktisi Multimedia. Otak saya? Biasa saja, kok. Cuma keburu banyak eksalator dan lift yang makin tua makin legreg. Makin tua kamar kamar itu semakin melompomg dan bulukan. Lorong-lorong makin jarang saya lalui. Istilahnya sedikit pelupa. Untuk mengingat konfigurasi lorong-¬lorong itu untung ada komputer yang membantu. Kalau tidak, betapa saya kesasar di otak sendiri. Tidak deskriptif, kan?
Selain itu, dalam menulis apakah itu artikel, cerita pendek titan hanya sekadar memo, kecenderungan Anda untuk berhumor begitu kuatnya sekuat bahasa fisik Anda di tempat kerumunan orang ramai; mengapa bisa begitu?
Aneh, ya. Butet Kartaredjasa mengatakan "Sakenthir kenthire Pailul, Luwih kenthir sing nggawe Pailul". Padahal kita tahu, Butet lebih kenthir dari saya. Yah, apa boleh bust, marilah kita memandang dunia ini dengan fenomena kenthir. Kita bukan pelawak, sekadar orang kenthir. Menurut silsilah, saya keturunan RNG Ronggowarsto ke sekian. Menurut beberapa orang pula, Beliau itu orang jenius tapi sableng. Besyukurlah kata Butet, saya kebagian sablengnya.
Panji Koming adalah sebuah fenomena yang amat khas Dwi Koendoro dan tiada duanya di Indonesia; dapatkah Anda jelaskan bagaimana ikon itu bisa lahir di negeri yang bernama Indonesia ini?
Ah masa, sih. Terus terang sejak kecil saya senang cerita lama.. Saya terpengaruh oleh strip kartun BC (lelucon zaman batu ) karya Johnny Hart (Alm). Ceritanya terpaksa rada panjang dikit. Waktu bekerja di Gramedia Film sebagai sutradara film iklan dan dokumenter, editor dan penulis skenario, menjelang akhir 1979 manajemen memerintahkan saya untuk menjadi Kepala Bagian Produksi. Karena merekrut tenaga luar, kalau kerjanya bagus minus gaji mahal. Bisa dengan gaji murah, tapi kemampuan manajerialnya jongkok. Bagi saya, jadi Kepala Bagian Produksi , secara karier itu bisa dibilang bagus. Tapi secara nasib artistikal bisa dibilang nekuk. Setup hari berurusan dengan kontrak kerja dengan klien. Mengatur jadwal kerja sampai membantu merencana cashflow dan pekerjaan non-artistik lainnya. Sedih melihat kawan-kawan artistik yang kreatif tapi kerja manajerialnya acakadut, Tak jarang saya harus mati-matian memback-up mereka. Maka saya ke harian Kompas yang satu payung manajemen dengan kantor saya. Untuk usul bikin kartun mingguan.
Saya diterima GM Sudarta (Oom Pasikom) teman satu tingkat waktu di ASRI ( Akademai Seni Rupa, Jogyakarta dulu, yang lebih dulu kerja di Kompas sejak 1965. Dan Rustam Affandi Alm) Desk editor Kompas edisi Minggu.
Saya berikan contoh kartun zaman Majapahit yang saya kasih nama "Pailul". Nama itu ditolak Rustam dianggap terlalu Jawa.. Dan dia meminta agar kartun saya berbau : "political cartoon". Saya usulkan nama "KOMING" akronim dari Kompas Minggu. Disetujui. Lalu saya tambah kata Panji, agar terasa ada "bau" usaha mencari kebenaran. Maka tgl 14 Oktober 1979 lahirlah Panji Koming. Sekitar 2-3 bulan kemudian ada klien yang khusus meminta saya menyutradarai filmnya. Sehingga 1 atau 2 minggu, tak ada Panji Koming. Pembaca proses lewat tilpon dan Telex ( belum ada fax atau SMS ). Terpaksalah sejak itu sampai hari ini ( 29 tahun kemudian ) Panji Koming harus nongol setiap hari Minggu. Tiga orang yang berjasa "memperkaya" eksistensi Panji Koming adalah: Pertama, Saini KM, pakar teater dari Bandung, yang tahun 1984 membuat drama komedi: "Panji Koming". Saini KM menaruh kisah Panji Koming pada zaman Majapahit setelah "Perang Paregreg" sekitar tahun 1400 SM. Kedua, istri saya Cik Dewasih yang menambahkan tokoh Ni Woro Ciblon, untuk membantu mengangkat masalah kewanitaan. Ketiga, GM Sudarta yang mengusulkan tokoh atagonis Bhre Ariakendor; Yang keempat.... Sorry ini tambahan ... yakni Dwi Koendoro atau saya sendiri. Burin. Yang menambahkan tokoh "Pailul", orang kampung yang slengekan, ceplas-ceplos sebagai counter part Panji Koming yang santun. Pailul ini kemudian amat disayang H Boediardjo (Alm) Mantan Menteri Penerangan.. Panji Koming dan Pailul penuh tantangan menggelikan dalam zaman Kalabendhu yang acakadut. Kenapa menggelikan? Ya namanya saja kartun strip. Bisa senyum geli, senyum kecut, senyum ngu-ngun, senyum prihatin atau senyum apapun.
Keberanian di massa Orde Baru dan Orde Reformasi konon berbeda nilainya? Menurut Anda dalam konteks apa saja dua orde yang beda itu kaitannya dengan proses kreatif penciptaan Panji Koming yang hadir setiap Minggu di Kompas itu?
Tidak usah saya, anda pun pasti merasakannya. Di zaman Orde Baru terpaksa slimpetan; zaman Orde Reformasi lebih bebas dan terbuka. Kita penganut natura artis magistra, proses kreatif kita dibangun oleh miliu, situasi dan kondisi sekitar kita. Waktu kerja di advertising, saya diminta untuk: "Do not talk to yourself”. Perlu diingat sejak kecil saya dididik di kepanduan, salah satunya adalah keja sistem beregu.
Sadar tak sadar ini pun masuk dalam pekerjaan saya pada Panji Koming. Waktu zaman Orde Baru tercatat beberapa teman dekat seperti wartawan foto senior Kartono Ryadi ( Alm ), wartawan-wartawan senior Mamak Sutamat, Bambang Sp dan banyak lagi yang setiap hari Sabtu saya ajak berembug untuk melihat "news bargaining position" setiap minggu. Lantas saya mencoba membuat plot dan simbolisasinya dalam Panji Koming, agar tak terlalu " telanjang". Ada hal lain yang merangsang saya sejak era Orde Baru, yaitu kemungkinan untuk menampilkan ujud kartunal pejabat-pejabat kita seperti kartun Mort Drucker pada komik kartun poltiknya. Selama Orde Baru tokoh Bhre Ariakendor selalu saya korbankan sebagai sosok antagon. Tahum 1998 merupakan salah satu tahun "emas" buat Panji Koming. Wartawan senior Rudy Badil (BD) disertai wartawan Politik Suryopratomo (TOM ) dan Agus Hermawan (USH) mengajak membuat kartun tiap hari selama 1,5 bulan selama Pemilu di Kompas. USH menamainya sebagai KETOPRAKTOON. Saya didorong untuk lebih bebas dan terbuka. Rasanya betul-betul seperti orang gila lepas kendali. Diberi kebebasan untuk berekspresi kartunal. Karena kebebasan saya, wartawan budaya Efix Mulyadi mengatakan "Dwi Koen muntah". Kebebasan itupun perlahan-lahan mulai memengaruhi ujud Panji Koming, lebih leluasa menohok sosok-sosok yang layak " ditohok".
Bahasa analogi (ke zaman Majapahit) yang Anda pakai sebagai strategi komunikasi Panji Koming tergolong mulus atau tetap saja menemui kendala ketika harus dihadirkan di koran setiap minggunya itu?
Secara kultural, siapa sih di negara ini yang tak kenal Majapahit? Jadi secara umum untuk kaum intelektual (golongan pembaca Kompas) masih komunikatif. Yang terpenting kita menghayati "credo" harian Kompas. Mengemban Amanat Hati Nurani Rakyat. Sejauh ini alhamdulillah tak ada pejabat yang tersinggung. Mungkin karena mereka tak pernah baca Panji Koming. (Kecuali beberapa pejabat antara lain Wijoyo Nitisastro dan Yuwono Sudarsono yang terang-terangan menyukai Panji Koming). Zaman Orde Baru sebelum menggunakan komputer, beberapa kali Panji Koming ditolak Redaksi karena terlalu berani.. Setelah menggunakan jasa internet, kalau ada yang dianggap "kritis" perbaikan segera dengan mudah diatasi. Dan itu tak terlalu sering terjadi karena kemudahan berkomunikasi.
Hal mendasar yang ingin Anda capai sebagai kartunis/komikus/kritikus situasi lewat Panji Koming itu tentu menarik disampaikan ke pembaca, termasuk sampai pada titik mana Anda dapat mencapai "kepuasan" lahir batin dalam berkarya?
Bisa disebut kepuasan kalau pembaca merasa terwakili nuraninya. Panji Koming sudah menjadi milik pembaca. Banyak pembaca yang mencintai Pailul, Ni Woro Ciblon, dan lain-lainnya. Bahkan Arthur N Nalan Ketua ISI Bandung menyukai Bujel dan Trinil kecil.
Anda berpendapat bahwa pameran kartun via koran sama saja artinya dengan pameran kartun di gedung atau ruang-ruang pameran; apakah itu berarti bila dikaitkan dengan istilah orang broadcast Anda menganggap bahwa on (the) air dan off (the) air itu sama saja?
Jangan lupa pameran di gedung kan dilihat pengunjung; dalam ilmu komunikasi decodernya jelas. Encoder senang kalau dilihat orang (Decoder). Susah kalau disamakan dengan ujud broadcast yang termasuk "cold medium".
Sawungkampret, sebuah karya komik Anda (yang benar-benar komikal) dan merupakan parodi yang berbasis dari situasi atau zaman penjajahan Belanda di Indonesia (khususnya Batavia), tentu menantang dalam aspek perburuan data dan literatur; bagaimana awal mulanya sehingga Anda mempunyai pemikiran ke arah sana?
Jawabannya rada panjang juga. Sawungkampret sesungguhnya karya yang jauh lebih lama dari Panji Koming. Lahir tahun 1969 pada saat saya kerja di Televisi Exprimentil Surabaya. Kesenangan membuat komik sejak kecil, merangsang saya melakukannya untuk mengisi waktu. Terpengaruh oleh kisah " Mahesa Jenar" ciptaan SH Mintardja. Waktu masih kecil di Bandung saya melihat Sandiwara Sunda yang sangat lucu; salah satu tokohnya bernama Jaka Aspirin. Terciptalah seorang tokoh jenaka bernama Mahisa Aspirin.. Cerita silat jenaka karena saya tak bisa berkelahi. la bepartner dengan seorang teman bernama Panji Kemis yang lebih suka dipanggil Ringo.. Yan Mintaraga teman satu tingkat di ASRI, Jogyakarta, menyemangati saya untuk membuatnya.. Saat itu ( tahun 1969). Yan sudah jadi selebriti komik. Sayang saya masih jadi orang TV. Dan di waktu senggang saya lebih banyak membuat relief dan patung karena lebih menghasilkan uang untuk asap dapur. Waktu saya bekerja di Gramedia Film tahun 1977, saya ajukan Mahisa Aspirin yang kemudian saya ubah menjadi Mahisa Pailul ke Majalah HAI; tapi ditolak redaksi karena waktu itu sudah ada Mahisa Rani ciptaan teman saya Teguh Santosa. Agak heran juga atas penolakan ini, Redaktur Pelaksana tidak berani menolak langsung tetapi melalui anggota redaksi. Tak apalah, katanya saya diminta untuk membuat komik cowboy saja. Sulit harus mengubah pakem, jadi tidak saya teruskan. Tahun 1988 Sudarmadji Damais, seorang budayawan DKI mengusulkan untuk membuat komik humor tentang Jan Pieterszoon Coen. Gayung pun bersambut, jadilah tokoh saya ini hidup di Batavia zaman VOC. Tahun 1990, Majalah HumOr diluncurkan, saya diminta sebagai Redaktur Khusus.. Dengan dibantu Arwah Setiawan (Alm) jadilah tokoh saya yang kini bemama Sawungkampret mulai tampil bersama Na'ip (dulunya Panji Kemis). Seperti juga Panji Koming, saya selalu minta bantuan teman-teman di HumOr untuk memperkaya gag atau apapun yang menarik untuk dibaca. Ada Yudhistira ANM Massardi, Amarzan Lubis, Ridwan Idris dan bahkan anda sendiri, ingat kan? Bahkan Monsieur Marcel Bonneff, Doktor Perancis untuk komik Indonesia pun membantu saya untuk perjalanan Marietje dan Ni Woro Sendang ke Perancis. Dalam usia sepuh beliau pernah berpikir untuk menerjemahkan Sawungkampret ke bahasa Perancis.
Kisah percintaan pemuda sodrun Sawungkampret dan gadis Belanda Marietje van Bloemkoel yang romantis tapi juga kocluk itu sering orang mengait-kaitkannya dengan pemuda penjuang Untung Suropati dan gadis Belanda yang jadi kekasihnya atau novel "Bende Mataram" karya Herman Pratikto yang menampilkan tokoh Sangaji cowok pribumi yang berpacaran dengan Suzanna, gadis Belanda (maaf bila akurasinya kurang memadai; ini hanya hapalan di luar kepala), tentu Anda punya konsep yang berbeda bukan?
Tidak persis begitu. Pada kisah awalnya sejak diciptakan tak ada gambaran perempuan pada Kisah Mahisa Aspirin maupun Sawungkampret; Marietje lahir karena usulan kenceng dari istri saya Cik Dewasih yang juga mengusulkan Ni Woro Ciblon di Panji Koming. Jeng Cik juga mepertajam plot dan romantisme dengan kehadiran Ni Woro Sendang, yang tak lain adik kandung Sawungkampret.
Sulit sekali pada awalnya, belajar dari teman-teman jugalah yang kemudian memperlancar romantisme sodrunnya.
Kesibukan Anda belakangan ini konon banyak monda-mandir antara Indonesia-China dan sebaliknya; tak keberatan Anda mengisahkannya untuk tambahan wawasan para. pembaca?
Terus terang pertanyaan ini bikin saya mengkirig. Saya sudah diangkat sebagai Advisor dari penerbitan International Journal Of Comic Art, oleh Prof John A Lent, Editor in Chief di Amerika. Sudah pula diangkat sebagai anggota Komisi APAACA (The Asian-Pacific Animation and Comic) berkedudukan di kota GuiYang, China, Yang setiap tahun mengadakan festival komik dan animasi AYACC (Asian Youth Animation & Comic Contest). Kenapa saya mengkirig? Karena Perjalanan ke Guiyang sungguh melelahkan. Jadi stamina saya harus dinaikkan tiap tahun agar tidak nyonyor. Jadi pesan saya ikuti pula kontes di Guiyang ini, terutama yang gemar membuat komik dan animasi. Beberapa kartunis Indonesia sudah mulai mengikuti. Bahan-bahan untuk kartunis muda kelak bisa didapat di website saya "Dwi Koen's Schetspad". Urusan dengan luar negeri banyak yang bisa kita perbincangkan, tapi saya percaya kita semua bisa bergerak lebih luas lagi. Di dalam negeri banyak yang perlu kita kembangkan dan perbaiki.
Mungkin Anda ada uneg-uneg tentang kartun atau kartunis atau pemerintah atau tetangga atau kawan atau orang di sekitar Anda dan ingin memberi komentar atau guyonan atau membuat karikaturnya, silakan memanfaatkan ruang yang tersedia ini .... domo arigato!
Uneg-uneg: Saya ingat dalam sebuah pertemuan dengan Dawam Rahardjo ahli ekonomi dan sosial bangsa ini pada tahun 1995, waktu masih Orde Baru. Dia bertanya kepada saya kenapa negara kita kacau. Saya meggeleng tidak tabu. Akhirnya dia jawab sendiri. Menurutnya lulusan universitas yang baik di Indonesia, memilih bekerja di swasta (termasuk di perusahaan Luar Negeri). Yang bodoh (antara lain yang nyolong skripsi, nyontek dll cara ilegal) jadi Pegawai Negeri. Jadi selama ini (bahkan sampai Orde Reformasi ) kita dipimpin orang bodoh. Saya sering sedih memikirkan teman-teman (tidak semua) pejabat yang bekerja dengan saya. Sering saya kesrimpet birokrasi dan ublekutekusekumek yang membuat pegel. Kartunis Indonesia, betapapun sekolahnya nggak tinggi amat, punyailah 6 UNSUR PENTING dalam kita belajar dan bekerja. Lakukan senantiasa OBSERVASI, lakukan senantiasa ORIENTASI, berusahalah senantiasa MENINGKATKAN MUTU KARMA, selalu berusaha menyusun MANAJEMEN, Manajemen Waktu dan Mood Kerja. Jangan kalah sama kartunis Jepang atau negara barat; selalu berusaha nelakukan FERIFIKASI dan yang keenam, selalu KONSISTEN. Mau nambah, silakan saja. Nggak pa-pa, kok. Sulit, memang. Jangan lupa beberapa di antara kita terpaksa melakukan ke 6 Unsur di atas sebaik-baiknya. Tanya saja sama Kelik Siswoyo yang mesti berkarya di POS KOTA, GM Sudarta, Pramono, DR Priyanto S. Teman-teman di BOGBOG, di KOKKANG dan banyak lagi, terima kasih.
Haik, domo arigato! (Darminto M. Sudarmo)