Oleh Darminto M Sudarmo
KARIKATUR adalah bagian dari seni grafis. Di Indonesia, secara salah kaprah sudah diidentikkan dengan tajuk rencana dalam bentuk gambar lucu. Menghadapi karya karikatur, orang selalu mempersiapkan diri agar memperoleh opini dan kelucuan. Karena itu karikatur yang tak ada opininya, bisa “dituduh” sebagai kartun murni (gag cartoon). Begitu pula bila tidak ada kelucuannya, bisa dikatakan sebagai pamflet atau poster.
Dalam karya karikatur pula selalu ada totalitas dari kompleksitas permasalahan. Saat beropini, misalnya, cenderung memilih jurus logika balik atau antitesa; dimaksudkan sebagai peringatan pertama akan adanya suatu ketidakberesan yang mungkin terjadi, atau sekadar menyampaikan masalah yang sedang hangat ke permukaan.
Proses pengolahan karya karikatur, esensinya memadukan unsur wartawan, seniman dan intelektual. Di mana, informasi diolah oleh proses opini intelegensia, lalu dikemas dalam sajian kreativitas seorang seniman. Yang harus memperhitungkan unsur-unsur estetika.
Menurut GM Sudarta, menikmati karikatur adalah menyimak wajah kita sendiri. Kedewasaan kita bisa diukur sejauh mana kita bisa menertawakan diri kita sendiri. Sementara orang masih mengatakan bahwa dunia karikatur kita belum matang. Ini ada kaitannya dengan kehidupan kritik dan pers kita. Tapi apakah benar demikian?
Mati Ketawa Cara Indonesia
Suatu kali kita lihat karikatur karya T. Sutanto yang terbit di Mingguan Mahasiswa, Bandung, pada tahun enampuluhan. Digambarkan di sana seorang anggota ABRI berjalan beriringan dengan mahasiswa dalam langkah serempak. Hanya saja bayonet sang ABRI menghadap ke belakang, ke arah sang mahasiswa. Karikatur yang tajam, sekaligus mengundang senyum yang getir. Kemudian kartunis-kartunis besar di zaman permulaan Orde Baru, seperti Sanento Yuliman, Hariadi S. Keulman, menghadirkan karya-karyanya yang tajam selain di Mingguan Mahaiswa juga di Harian Kami.
Periode di atas mungkin bisa dibilang periode zaman emas kritik dalam karikatur, kalau ukurannya adalah ketajaman dan keberanian. Tapi yang kita lihat kemudian adalah senyum getir bahwa dua media massa tersebut ditambah beberapa lainnya, harus tewas (korban mati ketawa cara Rus, eh, Indonesia). Maklum, sebelum era Reformasi bagi pers Indonesia sangat fobi dan seringkali dihantui istilah yang seperti momok atau hantu; yakni: Breidel atau cabut SIUPP!
Akhirnya kita berkesimpulan, kata GM Sudarta, setidaknya bagi diri sendiri, bahwa mawas diri dan tenggang rasa dalam penyampaian kriktik adalah perlu. Tidak usah presiden, menteri, jenderal, atau para pejabat lain, kita sendiri pun bila dikritik juga punya kecenderungan untuk marah. Apalagi kalau kritik itu destruktif, atau tajam menusuk.
Untuk menanggulangi hal yang tak diinginkan itu (bagaimana pun kita hidup di alam budaya timur, entah kalau barat), maka para kartunis menggunakan strategi tepo sliro, agar bisa membuat sebuah karikatur yang baik. Dalam arti, mempunyai kadar humor, kadar estetika gambar-menggambar, dan kadar pesan kritik. Serta kena sasaran, artinya misi yang disampaikan selamat ke tujuan, tidak ada beban saling curiga atas iktikad kritik tersebut. Sehingga hasil akhir dari strategi yang dimaksud adalah mampu menghadirkan senyum untuk semua. Baik yang mengkritik maupun yang dikritik, demikian pula masyarakat penikmat, terwakili aspirasinya.
Syarat itu cukup sulit dan absurd, tapi begitulah Indonesia di masa Orde Baru. Bila pers harus menjadi pers Pancasila, maka karikatur juga harus menjadi karikatur Pancasila.
Kartun Indonesia di tengah Peta Kartun Dunia
Barangkali terlampau riskan untuk menyebut kapan seni kartun masuk ke Indonesia. Sementara data yang ada hanya menyebut perkiraan tahun masuknya kartun ke Indonesia berkisar antara 20-an hingga 30-an. Ditandai dengan awal mula pergerakkan nasional lewat pengelompokan politik serta media massa.
Masa sebelum itu, Indonesia memang memiliki tradisi komik (cerita bergambar) atau sastra olok-olok (satire). Tetapi jenis seni kartun sebagaimana yang kita kenal saat ini belum menunjukkan tanda-tanda hadir sebelum tahun yang disebutkan di atas.
Pada tahun 30-an itulah koran mingguan Fikiran Rakyat mulai menampilkan gambar-gambar sindiran yang dalam masa sekarang corak gambar seperti itu lazim disebut sebagai karikatur (political cartoon).
Tradisi political cartoon di Indonesia barangkali lebih dominan hadir dibanding dengan jenis kartun yang lain. GM Sudarta menyebut, Bapak Karikaturis Indonesia adalah Bung Karno. Ini sangat beralasan. Karena pada masa itu, sejalan dengan semangat kebangsaan, gambar corak karikatur memang efektif untuk membangkitkan semangat rakyat. Kebangkitan nasional!
Lalu pada masa sesudah itu dikenal karikaturis-karikaturis Indonesia yang namanya tetap abadi di kalangan media massa. Seperti misalnya: Sibarani, Harmoko, Sam Suharto dan lain-lain, muncul di tahun limapuluhan. Kemudian pada masa bangkitnya Orde Baru dikenal nama-nama seperti: T. Sutanto, Sanento Yuliman, Hariadi S. Keulman, dan lain-lain.
Periode sesudah itu, kita kenal nama-nama karikaturis seperti misalnya: GM Sudarta, Pramono, Dwi Koendoro, Thomas Lionar, Priyanto S, Tony Tantra, Alex Dinuth, dan lain-lain
0 comments:
Post a Comment