Monday, December 1, 2008

Profil Kokkang



Tahun 1982, Paguyuban Kartunis Yogyakarta (Pakyo) mengadakan pameran kartun nasional.Pameran yang menarik itu tak dapat diikuti oleh Odios (Darminto M. Sudarmo) maupun Itos Boedy Santosa. Keduanya sudah sama-sama meminati bidang kartun, terutama setelah Odios berhasil menularkan pengetahuannya tentang teknik mengartun dan mengirim kartun ke media massa kepada Itos yang belum lama dikenalnya. Berita soal pameran Pakyo itu membuat mereka iri. "Kami cuma menyantap beritanya dari media massa," kata Odios.
Suatu saat, ketika Odios dan Itos hendak ke kantor pos Kaliwungu, tiba-tiba terbersit gagasan untuk membuat perkumpulan sejenis Pakyo. Nurrochim kemudian diajak. Dan lahirlah Komplotan Kartunis Kaliwungu --yang kemudian diganti menjadi Kelompok Kartunis Kaliwungu-- 10 April 1982. Markasnya ditetapkan di rumah Itos, yang suka berorganisasi dan senang rumahnya dijadikan markas, di Jalan Boja 106, Kaliwungu.
Menurut Itos, ada sejumlah alasan mengapa Kokkang didirikan. Pertama, awal tahun 1980-an media cetak memberi perhatian cukup besar terhadap sajian kartun. Kedua, ketrampilan mengartun lebih mudah diajarkan ketimbang menulis maupun melukis. Ketiga, honor kartun cukup menggiurkan dan prospeknya cukup menjanjikan. Dan keempat, lingkungan Kaliwungu khususnya warga desa Krajan Kulon yang masih kental dengan budaya kebersamaan, kegotongroyongan, sangat potensial untuk pembentukan paguyuban.
Sementara Odios memandangnya secara sederhana. "Motifnya ya senang-senang dan gagah-gagahan saja," ujar Odios. Kokkang menjadi kelompok kartunis yang pertama di Jawa Tengah.
Untuk menandai deklarasi, digelar pameran kartun di Pendopo Kawedanan Kaliwungu, yang dibuka oleh Jaya Suprana dan Dr. Soewondo PS Art dari Perhimpunan Pencinta Humor, Semarang. "Ibukota Jawa Tengah sebenarnya bukan Semarang, tapi Kaliwungu," kata Jaya Suprana.
Pameran karya Itos dan Odios itu juga merupakan upaya untuk memikat anak-anak muda. Tema-tema kartunnya sederhana (gag cartoon) dengan teknik yang sederhana pula. Itulah pameran kartun kali pertama di Kaliwungu. Dan pameran itu berhasil menarik perhatian para pemuda, yang sebagian besar anak muda putus sekolah. Bergabunglah mereka sebagai anggota Kokkang.
Ketertarikan mereka didukung maraknya media cetak yang memungkinkan keterlibatan kartunis. Ruang untuk kartun melebar, dan itu menjadi tantangan yang perlu disikapi secara profesional. "Sekaligus menjawab tantangan kesulitan tenaga kerja," kata Itos.
Tiap Sabtu dan Minggu, mereka membahas isu-isu aktual sambil mempertajam keterampilan membuat kartun, terutama bagi anggota baru. Jika ada kesulitan mereka berkonsultasi dengan seniornya. "Pendek kata kami sediakan air; mau diminum, mau buat mandi, mau buat cuci muka, terserah, selama itu bermanfaat dan tidak buat mengguyur orang lewat," kata Odios.
Anggota Kokkang yang awalnya terbatas mereka yang bermukim di tiga desa: Krajan Kulon, Kutoharjo dan Sarirejo, kemudian melebar ke desa lain. Bahkan ke luar Kaliwungu. Bisa karena pengaruh keluarga maupun pergaulan.
Misalnya, Itos menularkan kemampuannya kepada adik-adiknya: Pujo Waluyo, Budi Setyo Widodo, dan Budi Mulat Purnomo. Karena pergaulan, Itos menularkan hobi kartunnya ke tetangga kampung, Muhammad Nasir. Nasir berhasil menciptakan kartun dan dimuat di media cetak, yang lantas menarik saudara-saudaranya: Najib (kakak), Azis (adik), Nazar (keponakan) dan sebagainya. Mata rantai itu terus berputar, dan memunculkan banyak kartunis baru, baik sebagai hobi maupun profesi. Umumnya adalah kartunis keluarga.
Dalam tenggang waktu tertentu, pertemuan-pertemuan dan kursus-kursus pun acap digelar. Memberi pembekalan prinsip-prinsip kesenirupaan, bagaimana mengenal media, pendalaman filosofi hingga soal-soal teknis semacam penggunaan tinta, pengenalan karakter kertas dan penggalian ide.
“Saya selalu mengajarkan mereka filosofi orang berak. Gambar, kirimkan ya sudah, nggak usah dinanti. Masalah honor itu nanti. Itu kan efek. Yang penting proses, berkarya. Sehingga ditolak pun menjadi sesuatu yang biasa,” tegas Itos.
Pengaruh-mempengaruhi adalah hal wajar dalam paguyuban. Umumnya, kartunis baru akan terpengaruh kartunis satu generasi di atasnya. Kemudian lama-lama mereka akan menemukan bentuknya sendiri. Ciri visual kartunis Kokkang biasanya bermata lebar dan berhidung besar.
"Saya percaya, tidak ada yang baru di bawah matahari. Jadi pengaruh itu sesuatu hal yang manusiawi. Saya memang terpengaruh, terutama oleh produktifnya kartunis Subro, Johny Hidayat AR dan lain-lain. Secara semangat mungkin, tapi secara teknis seingat saya tetap berjuang dengan cara saya," kata Odios.
Perlahan tapi pasti, kartunis-kartunis muda muncul, dan mewarnai penerbitan di Indonesia. Karya mereka acap hadir di Nova, Bola, Gema Olahraga, Intisari, Suara Pembaruan, dan media yang menyediakan ruang kartun. “Intisari adalah media paling lama menyediakan kolom kartun, beroplah besar, paling eksis dan memberi penghargaan paling tinggi. Lainnya, buka tutup,” kata Itos.
“Intisari adalah legenda, sebagai inspirasi dan ukuran bahwa jika sudah dimuat maka menang. Intisari juga berhasil mewibawakan kartun, tidak hanya sebagai stopper. Bahkan kadang satu halaman dan colour,” imbuh Prie GS yang masuk Kokkang tahun 1987 karena mengidolakan Odios dan Itos.
Acap kali ada pihak media yang menelpon dan mengabari tersedia kapling dengan tema tertentu. Atau bahkan menunjuk orang-orang tertentu untuk mengisi ruang.
Beberapa anggota Kokkang juga merambah media cetak, mengisi kebutuhan redaktur, ilustrator, kontributor lepas maupun wartawan: M. Najib (Kicau Bintaro, Muba Randik, Seputar Indonesia dll), Ifoed (Communicartoon Studio), Budi Setyo Widodo/Tiyok (Media Indonesia), M Nasir (Bola), Prie GS (Pemred Cempaka Minggu Ini), Nurrochim (Majalah Pelajar MOP), Joko Susilo (Suara Merdeka), Pujo Waluyo (sebuah penerbitan di Jakarta), Muktafin (Rakyat Merdeka), Hertanto (Redaktur Warta Kota), M Komarudin (Harian Merdeka), Wawan Bastian (Tabloid Aura), Wahyu Kokkang (Jawa Pos) dan sebagainya. Meski sebagian ke Jakarta, Kokkang sepertinya tak akan pernah habis. Selalu ada kartunis baru lahir.

Budi Setiyono, Wartawan Budaya yang pernah meliput Kokkang secara mendalam.

0 comments:

Post a Comment


AyuWage Services - Get Paid to Visits Sites and Complete Surveys