Tuesday, June 15, 2010

Miliarder Jepang yangTukang Gambar


SECARA naif, kartunis, cergamis, ilustrator, itu tukang gambar. Kerja mereka, ya, menggambar. Hanya saja, kata tukang itu kurang enak untuk dihubungkan dengan kerja kreatif. Apalagi, dalam bahasa Indonesia, kata tukang mengacu pada pengertian: pengulangan dan bersifat kuantitatif.
Ketika pekerjaan membutuhkan visi: kebaruan, eksplorasi dan mengabdi pada sifat kualitatif, maka kata tukang sebaiknya tidak dibawa-bawa. Sebutan paling klop dan enak untuk ini adalah kreator. Timbul pertanyaan, apa pekerjaan kartunis, cergamis dan ilustrator tak ada hubungannya dengan tukang? Atau bisa dijamin pasti mengabdi pada visi: kebaruan, eksplorasi dan kualitas?
Ini dilema menarik sekaligus lucu. Persis teka-teki mengenai kekosongan: di dalam kosong terdapat isi, di dalam isi terdapat kosong. Hemat saya, setiap kreator—terutama bila dikaitkan dengan kasus karya grafis seperti kartun, komik dan ilustrasi—adalah tukang yang bervisi, bereksplorasi dan punya tanggungjawab mutu. Tukang yang tak ada hubungannya dengan ini, ya tukang yang baik hati saja.
Tidak lebih dari itu.
Ha-ha! Tulisan di atas cuma guyon. Jangan dianggap ada apa-apanya. Sekadar pengantar untuk memasuki “pencerahan profesi”. Kalau Anda kebetulan kartunis, cergamis atau ilustrator, saya sarankan bekerja secara rela hati dan mengalir. Beberapa bandingan mengenai profesi serupa yang terjadi di Jepang, mungkin dapat memberi gambaran bagi Anda, bahwa di dalam berkarya, kartunis, cergamis dan ilustrator Jepang juga mempertimbangkan aspek-aspek lain di luar visi tadi, yakni: visi ekonomi!
Gambaran ini dapat saya simpulkan setelah kurang lebih tiga jam berbincang di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta, dengan Isao Shimizu, sejarawan kartun (cartoon historian) dan penulis nonfiksi, Kakinuma Tsutomu, pengurus Japan Foundation ASEAN Culture Center, Tokyo dan Non-O S. Purwono, kartunis Indonesia yang dapat giliran ke Jepang, Oktober 1994. Percakapan bersejarah saya dengan Profesor Shimizu (sejarawah kartun) dan Pak Kaki Numa (dari Japan Foundation Internasional, kala itu, sungguh tetap sangat berharga hingga kini.
Bagi kita, mungkin tak terbayang bila seorang cergamis Jepang (pelukis manga atawa comic artist) berani mengeluarkan duit ratusan juta rupiah (30 juta Yen) untuk membeli peralatan komputer yang dapat membantu proses visualisasi karyanya.
“Dan dalam waktu beberapa bulan kemudian, sudah balik modal,” ujar Shimizu san. Mungkin kita juga tidak menyangka, beberapa miliarder Jepang saat ini, dua di antaranya adalah cergamis atawa pelukis manga.
Apa yang menarik dari kehidupan “ekonomi” kreator seni grafis (kartun, manga dan ilustrasi) Jepang saat ini? Isao Shimizu san, yang juga salah seorang juri dari The Yomiuri International Cartoon Contest mengatakan, kondisi bidang kartun di Jepang tidak sesemarak manga. Apa yang dilakukan Yomiuri adalah bagian dari strategi untuk meningkatkan oplah suratkabar tersebut. Pesertanya dari banyak negeri, termasuk Jepang. Tapi, pemenang dari lomba ini belum menjadi indikasi kadar profesionalitas seorang kartunis yang diakui.
Kartunis-kartunis profesional Jepang, umumnya tidak mengikuti lomba. Kartunis peserta lomba, biasanya dari kalangan muda atau baru dan sedang berupaya mencari pengakuan. Selain mencari hadiah yang besar, tentu saja. Kasus ini mungkin sangat berbeda dengan Indonesia. Yang walaupun sudah mendapat pengakuan, masih rajin ikut lomba. Kalau di Jepang, seorang kartunis yang telah menetap di suatu media atau menjadi kontributor tetap suatu media berarti mengindikasikan kapasitas, kompetensi dan kualifikasinya.
Maka, menjadi kartunis/karikaturis sebuah media di Jepang tidaklah mudah. Bisa bertahan satu tahun sebagai tenaga kontrak sudah suatu prestasi. Karena sedikit saja terjadi kemerosotan mutu (gambar, ide, teknik penyampaian), masyarakat pembaca akan segera protes dan menuntut kepada medianya agar mengganti kartunis yang baru.
Tak aneh kalau di Jepang hingga saat ini hanya memiliki 7 (tujuh) kartunis (baca: karikaturis) top. Itu pun enam di antaranya masih juga melakukan kegiatan lain, yaitu sebagai ilustrator atau pelukis grafis. Jadi total jenderal, hakulyakin, cuma satu kartunis top Jepang yang benar-benar profesional, yakni Yamada Shin san! Bayangkan...!
Meski begitu, jangan dikira Jepang sepi kartunis. Anggota Japan Cartoonist Assosiation tak kurang dari 500 orang. Sekitar 200 orang yang masih aktif. Sementara itu, 2.000 orang lagi masih menjadi calon pelukis manga. Bandingkan, Indonesia memiliki tak kurang dari 1.500 kartunis dan hanya beberapa pelukis komik. Kalau tak silaf sekitar 15 orang pelukis komik atawa cergamis potensial. Sementara itu, pekerjaan ilustrator di Indonesia selain ada media yang memasang secara spesialis, selebihnya dirangkap oleh kartunis atau tenaga visual/desain grafis media bersangkutan.
Menjadi pertanyaan, mengapa pelukis manga di Jepang begitu berjaya dan dua orang di antaranya (Turiyama Akira dan Isyinomori Sotano) justru jadi miliarder? Gampang mengukurnya, selain didukung oleh kondisi minat baca dan konsumsi buku masyarakat yang hebat, pelukis manga di Jepang juga termasuk pembayar pajak paling aduhai. Tiap tahun tak kurang dari 4 (empat) miliar Yen pajak bisa ditarik dari hasil penjualan komik atawa manga itu.
Sementara konsumsi tiap penduduk Jepang rata-rata 20 eksemplar pertahun. Kalikan saja dengan jumlah penduduk Jepang yang menurut data statistik tahun 1991 sejumlah 124 juta! Jelas di tahun 1994 ini, jangan-jangan perubahan angka penduduknya searah dengan Yen yang nilainya terus melonjak! Ada data menarik, seorang pelukis manga dalam 6 tahun bisa mencapai oplah penerbitan 5 (lima) hingga 6 (enam) juta eksemplar.
Yang lebih menarik lagi, di Jepang tidak mengenal pola senioritas. Tidak mengherankan bila bakat-bakat muda tampil melesat dalam kompetisi yang terbuka, dan beberapa personel yang sukses secara material karena karyanya, sebagian besar justru masih berusia muda dan jadi milyuner.
Dan di Indonesia, rasanya peluang untuk bakat-bakat muda juga begitu, mengapa kehidupan komik alias cergam (mungkin kartun dan ilustrasi juga?) justru sedang sebaliknya? Apakah ini hanya kesalahan pengertian kata tukang dan bukan tukang atau ada masalah lain yang lebih mendasar? Hi ni mitabi mi o kaerimiyo! Ya, kita semua memang perlu introspeksi.....(dms)

Keterangan gambar: Kita Bangsa yang Gampang Lupa

0 comments:

Post a Comment


AyuWage Services - Get Paid to Visits Sites and Complete Surveys