Friday, October 15, 2010

Quo Vadis Kartunis Indonesia?

Oleh Darminto M Sudarmo

Kartunis Indonesia, khsususnya angkatan salah satu jejaring sosial periode 2009-2010 telah bergerak menuju sebuah orientasi yang sangat khas dan antikredo. Sebagaimana dipahami sejak kemunculan gerakan kelahirannya , kartunis lahir di dunia langsung membawa fitrah dan amanah dari “Nilai Tertinggi Peradaban”  untuk menjadi “anjing penjaga” yang tugasnya menyalak saat melihat ketidakberesan di tingkat penguasa atau pemegang otoritas tertinggi dari tiap komunitas. Bentuk perlawanan terhadap ketidakberesan itu dapat berupa: bisikan, ledekan, sindiran, bahkan hantaman (tetap dalam koridor estetika yang memadai).
Tugas kartunis juga harus membunyikan genta atau gong kontemplasi ketika pendangkalan nilai terjadi di mana-mana. Tak peduli apakah kartunis itu seorang single fighter atau berbentuk gerombolan.  Tak peduli apakah dia tinggal di gunung atau di kampung kumuh perkotaan. Visi dan misi utamanya adalah memahami dinamika hati nurani rakyat. Apalagi rakyat yang sedang terpinggirkan hak-haknya, rakyat yang sedang bingung melihat campuraduknya nilai, bahkan rakyat yang selalu jadi korban akibat “kedunguan” para pengambil keputusan.
Kartunis yang benar, akan selalu mengasah visi dan orientasi “kecerdasan dan kejelian” dalam mencermati situasi dan kondisi di sekelilingnya. Meski tersirat, ia juga otomatis akan menjadi “juru penunjuk” bagi pembacanya; khususnya dalam melihat nilai. Ada nilai yang berkecenderungan ke hitam, abu-abu atau putih.  Karena kartunis bukan penggambar poster, maka dia tidak mengarahkan apalagi menghakimi sebuah kecenderungan itu menuju kepada nilai hitam, abu-abu atau putih. Kartunis yang beralayar di arus kontemplasi yang benar akan memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berkembang dalam mencermati dan menyikapi apa saja yang ditawarkan kartunis.

Peluang Seni Grafis
Apa boleh buat;  fakta yang berkecenderungan membentuk seorang kartunis toh akhirnya berbicara. Bahwa kartunis memang memiliki hak untuk memilih sungai kontemplasinya sendiri. Atau dalam bahasa yang pongah, lautan kontemplasinya sendiri. Ada yang masih eling, ingat, bahwa idealisme merupakan takaran to be atau not to be seorang kartunis. Baginya, itu pilihannya; dengan demikian ia siap pada konsekuensi yang harus diterimanya. Bahwa persoalan “makan” atau “tidak makan”, kaya atau tidak kaya, laku atau tidak laku, baginya itu hanya persoalan teknis. Ibarat kata seorang penjual obat kumis saja bisa hidup (di iklan TV, cowok yang bercukur bersih, lebih disukai cewek), apalagi seorang kartunis; yang secara harafiah: memliki talenta, keterampilan teknis dan pasar yang menampung.
Bagi kartunis yang masuk ranah entertainment, lebih khusuk dan disibukkan oleh job mengakrikaturkan wajah seseorang dengan target yang digambar puas dan memberikan penghargaan balik berupa fee yang memadai, apa salah dan dosanya? Tidak ada yang salah dan berdosa dalam kasus ini. Tetapi seyogianya kalau ia masih merasa sebagai kartunis yang benar (caricaturist), ia juga berkewajiban (membuktikan pada masyarakat) bahwa ia masih berada di atmosfer kreativitas dan memiliki daya kritis yang tinggi terhadap situasi; caranya: ya tetap seperti disebutkan di atas, “menjahili” dalam bentuk: bisikan, ledekan, sindiran, bahkan hantaman kepada tokoh-tokoh sejenis “Sengkuni” yang saat ini bergentayangan di berbagai media. Salah-salah orientasi idola masyarakat bisa nyasar-nyasar ke sejumlah antagonis karena popularitasnya begitu mengguncang, dan banyak diliput media massa.
Sekadar contoh kecil, karikaturis Lurie, pernah membuat tema: menggambar langsung dan mewawancarai seluruh pemimpin dunia (presiden, perdana menteri, dan jabatan setingkat itu); sementara itu salah seorang Presiden Uganda yang sangat popular dan kontroversial (dirumorkan tukang makan manusia), Idi Amin, digambar oleh Lurie dalam sosok Drakula penghisap darah. Di meja kerja Idi Amin, dan Lurie menggambar persis berseberangan dengan Idi Amin. Itulah nilai nyali dan keyakinan kartunis pada fitrah dan amanah yang berisiko (dirinya bakal disantap juga oleh Idi Amin). Sejahat-jahat Idi Amin, ternyata dia tidak memakan Lurie, malah ia ketawa melihat “opini” yang berkembang di masyarakat dan itu yang ditangkap sang kartunis dengan sangat cermat.
Di tahun-tahun yang sangat lampau, ketika represi pemerintah terhadap para kartunis maupun seniman lain begitu kuat dan sistematis, banyak sekali pameran kartun bertema yang ditampilkan di publik seni; baik itu yang diselenggarakan oleh LHI (Lembaga Humor Indonesia) maupun kartunis personal seperti GM Sudarta (tema: Yang Cantik di Mata GM Sudarta), Si Jon dengan tema lain (maaf saya lupa), dan sejumlah kartunis lain yang tak dapat disebutkan satu persatu. Dalam konteks pameran LHI,  di antaranya berhasil mengantarkan debut Tony Tantra dengan karya-karya karikatur wajah (sekaligus beropini) seperti  Menteri Perminyakan Soebroto, digambarkan menjajakan minyak tanah keliling; Menteri Pendidikan Daoed Joesoef, tampak gigi-giginya berupa deretan buku; dan menteri-menteri lain yang digamar dengan ide yang tergolong berani untuk situasi sosial politik saat itu, namun tetap jenaka. Sebuah debut yang sangat fenomenal dan tak tergantikan karena Tony Tantra menggunakan teknik air brush (baru pertama di Indonesia saat itu) dengan kualitas keterampilan dan intensitas yang sangat tinggi. Pada lingkar isyu saat itu, nyaris seluruh media Jakarta (koran harian terutama) memuat gambar Tony di halaman muka dan sebagian besar menempatkannya sebagai HL.
Pertanyaan yang sering menyelinap, ketika mencermati keadaan saat ini, dengan begitu banyaknya media tempat berekspresi para kartunis; dari yang diekspresikan lewat lomba di Indonesia maupun luar negeri; dari yang dipajang di etalase jejaring sosial, yang salah satunya mengasilkan “Euforia Pepeng Jari-jari” dan berlanjut ke Acara TV “Kick Andy”, yang sekaligus menyabet penghargaan MURI (Museum Rekor Indonesia), terasa panorama ekstrinsik yang lebih muncul ke permukaan ketimbang perjalanan batin menuju ke pencapaian instrinsik yang lebih in depth.
Penghargaan Maestro Kartunis untuk A. Sibarani yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga yang mengatasnamakan “Museum Kartun Indonesia Bali” pun menggelinding senyap. Apa itu terkait dengan nasib Sibarani yang di masa pemerintahan Orba kena stigma kiri, sehingga sisa traumatik masyarakat pers sendiri menyambutnya dengan gamang.
Di Yogyakarta, bulan Agustus ini juga “konon” diselenggarakan pameran kartun di atas kanvas dengan “kredo” tak lebih dari “penyiasatan” pasar agar kolektor lebih bergairah atau setidaknya mau melirik ke a rah “produk” yang bernama kartun kanvas atau lukisan kartun.
Mampukah berbagai upaya dan strategi itu memberi  jejak baru pada peta perkatunan nasional? Itulah pertanyaan yang senantiasa menyelinap di dalam benak.
Darminto M Sudarmo, pemerhati kartun, lawak dan humor.

0 comments:

Post a Comment


AyuWage Services - Get Paid to Visits Sites and Complete Surveys