Prakata:
Kabar burung yang saya terima itu ternyata benar-benar nyata, pertengahan Desember 2011, Jitet Koestana dapat kesempatan menjadi Juri Lomba Iran Cartoon. Ini jelas kabar baik buat
Indonesia. Lebih-lebih buat dunia perkartunan Indonesia. Bagi yang belum sempat
baca, mudah-mudahan tulisan ini ada gunanya.
Tulisan ini saya buat antara tahun
1996-1998; telah saya
coba kirim ke Kompas (tidak dimuat); ke Suara Merdeka (tidak ada kabar
dimuat atau ditolak); tetapi sebagai peminat kartun dan kartunis, saya tetap
menyimpan tulisan tersebut dan melihat bakat besar yang dimiliki Jitet
Koestana; saya tetap berkeyakinan, bahwa suatu saat tulisan ini pasti ada
gunanya. Apa yang dicapai Jitet, pada akhirnya dapat kita evaluasi bersama.
Bagi kartunis yang saat ini sedang gigih merintis karier, semoga dapat melihat
militansi dan etos kerja yang dimiliki Jitet, sebagai salah satu model orang
tekun yang konsisten pada pilihannya. Semoga bermanfaat. Selamat membaca!
Oleh Darminto M. Sudarmo
JITET KOESTANA itu kasus. Kalau kemudian ia mendapat penghargaan dari MURI
(Museum Rekor Indonesia) sebagai kartunis Indonesia pemenang lomba
internasional terbanyak, itu juga kasus. Mencari satu orang saja di antara
seribu anak muda yang seperti dia, juga tak gampang. Kalau boleh sedikit
berkilas balik, rekan Yehana SR dan saya sempat menjadi saksi langsung
bagaimana Jitet memulai semuanya itu; memulai keberaniannya mengambil keputusan
untuk menjadi seorang kartunis. Sejak dia masih malu-malu dan agak takut
menunjukkan karya kartunnya, hingga ia tak pernah capek untuk bertanya ini itu,
hingga sayapnya tumbuh dan ia terbang lepas menjelajah waktu dan proses.
Tapi tunggu dulu. Kalau orang menyaksikan bakatnya yang luar biasa, kemauan
belajarnya yang edan-edanan, etos kerjanya yang mendebarkan, orang baru
menyadari bahwa semua yang diperolehnya, adalah sesuatu yang memang sudah
semestinya. Bagi saya pribadi -- tanpa mengurangi rasa hormat dan salut pada
MURI -- bahkan, penghargaan kali ini pun bisa dibilang agak terlambat; tapi
untunglah, Jitet tipe orang yang agak masa bodoh dengan fluktuasi apresiasi. Ia
asyik dalam suasana "up and down", naik turun gunung pencarian
gagasan dan selanjutnya "kesurupan" dalam ajang pertempuran kreasi
antar kartunis dunia. Termasuk, organisasi semacam Pakarti (Indonesia
Cartoonist Association), yang seharusnya menjadi lembaga paling awal memantau
radar prestasi kartunis Indonesia (terlepas si kartunis menjadi anggota atau
tidak), hanya mengapresiasi kenyataan itu dengan abstrak. Saya sering
bertanya-tanya dalam hati, mengapa? Apa karena Jitet (lahir di Semarang, 4
Januari 1967) masih terlalu muda dan karena itu belum bisa masuk dalam peta
apresiasi "serius"? Kalau itu persoalannya, bukankah ia makin hebat,
karena di usia semuda itu ia telah duduk sejajar dalam barisan kartunis senior
kelas dunia?
Tapi, tidak benar juga, itu. Pasti hanya asumsi-asumsi saya yang buta.
Keputusan MURI untuk memberikan penghargaan padanya, tentulah muncul setelah
melewati pertimbangan-pertimbangan yang matang. Perlu ada kesabaran menunggu
datangnya kebenaran. Dan setelah kebenaran benar-benar datang, baru bisa
dirasakan nikmatnya penghargaan itu. Semoga Jitet tetap menjadi Jitet; supaya
semangatnya tetap terjaga, supaya sikap keseniannya tidak berubah. Supaya ia bisa
menjadi inspirator bagi calon-calon kartunis lainnya.
Dan sebagai catatan yang sangat khusus, satu hal yang paling
mengagumkan dari anak muda ini, bagi saya, adalah kemampuannya menjaga kondisi
-- jiwa-raga -- untuk selalu asyik dan nikmat pada bidang yang ditekuninya.
Inilah kunci daya hidup Jitet. Seperti anak-anak yang terus asyik dan
mengasyiki mainannya. Begitulah. Lomba kartun demi lomba kartun dia ikuti. Dia
jelajahi. Di sudut dunia yang mana pun; meski membutuhkan biaya perangko untuk
pengiriman seberapa mahal pun, tetap dia penuhi. Hasilnya: kecewa dan senang
datang silih berganti. Biasa. Itulah dinamikanya. Suka duka menjadi peserta
lomba kartun internasional.
Lomba-lomba Internasional
Sejujurnya, di Indonesia, pameran atau acara yang berkaitan dengan kartun
tergolong jarang. Ada memang, satu atau dua lomba/pameran diadakan. Selebihnya,
agak sepi. Beda dengan seni lukis, misalnya. Dalam satu pekan saja, masyarakat
dapat menikmati berbagai pameran yang diselenggarakan di berbagai tempat di
Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia. Tetapi anehnya, di lingkungan
yang lebih luas, misalnya di tingkat internasional, isu seni kartun justru
tampak sangat meriah.
Lihat saja. Setiap tahunnya, rata-rata hampir tidak pernah berhenti berbagai
negara, seperti: Jepang, Korea, Italia, Iran, Turki, Belgia, Bulgaria,
Australia, dan lain-lain -- menyelenggarakan festival atau lomba di bidang seni
kartun dengan tema yang selalu berganti-ganti dan hadiah yang sangat menggugah.
Ada beberapa lembaga penyelenggara yang cukup menggoda dan dianggap
prestisius oleh para kartunis, di antaranya: The Yomiuri International Cartoon
Contest, Jepang; The Seoul International Cartoon Festival, Korea Selatan; dan
Wereld Kartoenale Konkke-Heist, Belgia. Bahkan, untuk Yomiuri Shimbun, yang
sering dibanjiri peserta hingga tak kurang dari 6.000 kartunis dari berbagai
negara, menyediakan hadiah, kategori Grand Prize, sebesar 20 juta yen setiap
periode-nya. Sementara itu, masih tersedia berbagai hadiah lain (Hidezo Kondo
Prize, Excelent Prize, dan seterusnya) yang nilai hadiahnya makin mengecil
sesuai dengan tingkatan kategorinya.
Memenangkan Medali Emas di Korea
Dalam putaran ketujuh lomba kartun sedunia yang diadakan oleh The Seoul International
Cartoon Festival tahun ini, Jitet, memenangkan Medali Emas (Gold) untuk
kategori "Art" (seluruhnya ada lima kategori bergengsi: Grand Prize,
Message, Art, Humor dan Journalism). Sekaligus ia menang di kategori Winning
dan satu-satunya peserta dari Indonesia yang berhasil lolos dari ribuan peserta
lainnya.
Bagi Jitet, kemenangan lomba ini tentu bukan hal baru. Tahun-tahun
sebelumnya -- bahkan yang terbaru ini, dalam festival kartun internasional di
Kyoto, karya Jitet memperoleh penghargaan dari koran terbesar di Jepang, Asahi
Shimbun -- ia banyak menghiasi kerja kerasnya dengan kemenangan, baik di
tingkat nasional maupun internasional. Tahun 1990, ia menjadi Juara Pertama
Lomba Kartun Nasional versi Tabloid Bola; 1991, Juara Kedua, Silver Plaquette
pada lomba World Cartoon Gallery Skopje, Yugoslavia (Macedonia) dan meraih
Excelent Prize pada The Yomiuri International Cartoon Contest; 1993, memperoleh
Excelent Prize dan Honorable Mention pada lomba di Yomiuri, Jepang; 1994,
memperoleh tiga kejuaraan sekaligus; yakni Juara Kedua Lomba Kartun Nasional
versi Tabloid Bola; The Best Cartoon of Nippon pada International and Cultural
Affairs Division Planning Department, Jepang dan Honorable Mention pada The 3rd
Taejon Expo International Cartoon Contest, Korea Selatan.
Ada pengalaman menarik, kemenangan lombanya di Yugoslavia, ternyata
punya buntut yang kurang mengenakkan. Sampai dengan batas waktu yang
dijanjikan, hadiahnya tak kunjung sampai di tangan. Saat itu situasi sosial
politik di Yugo memang sedang dilanda kekisruhan. Ketika hadiah itu ditanyakan
kepada panitia, ia mendapatkan jawaban bahwa panitia sudah berupaya keras untuk
mengirimkan hadiah itu, tapi bank-bank dari seluruh dunia memblokir pengiriman
itu; akhirnya, panitia tetap menyiapkan hadiahnya jika Jitet mau datang sendiri
mengambilnya. Tentu saja Jitet hanya ketawa.
Siapa Jitet Koestana
Mungkin hanya sedikit orang yang mengerti kegelisahannya. Ia dilahirkan di
Semarang 31 tahun lalu. Ia tidak memperoleh pendidikan formal seberuntung
kawan-kawan lainnya. Ia bahkan pernah bekerja membantu ayahnya sebagai penjual
buku loak. Tapi Jitet adalah pribadi yang di dalam dirinya memiliki kegelisahan
terus menerus.
Lewat buku-buku loak dan media cetak lain yang dibacanya saat ia menunggui
dagangannya itulah, ia mulai tertarik pada kartun. Sejak itu, ia mencoba-coba
mencorat-coret di kertas. Mencoba-coba sendiri. Lalu, tanpa pernah bosan ia
bertanya kepada orang-orang yang dianggapnya mengerti dan bisa dijadikan
sebagai sandaran referensi.
Tahun 1987, setelah ia berkenalan dengan Yehana SR, waktu itu menjadi
Ketua SECAC (Semarang Cartoons Club), perkembangan Jitet mulai tampak. Dan
dalam waktu tak lebih dari tiga tahun, ia melesat bagai anak panah. Ia berkarya
seperti orang kesetanan. Setiap malam, ia biasa menggambar dengan cara lesehan
di lantai; sebelah kakinya dia senderkan ke dinding, lalu keasyikan sampai dini
hari; setelah tidur sebentar, ia bangun. Usai keperluannya rampung, ia masuk
kerja. Ia pernah bergabung dengan sebuah harian di Semarang, dan dua penerbitan
di Jakarta; dan kini, tampaknya ia merasa lebih sreg sebagai kartunis lepas di
sebuah tabloid dan beberapa penerbitan lain.
Beban Kartun
Menyimak karya-karya Jitet tidak selalu mudah bagi awam. Di benaknya, kadang
terlalu banyak "dibebani" pesan-pesan filsafat. Tak aneh, ia memang
menyukai bacaan-bacaan "berat" dan olah batin. Tetapi bila disimak
lebih seksama, maka kita akan diajak berdialog tentang sesuatu yang bukan
sekadar ha-ha-hi-hi dan pengobral tawa belaka. Salah satu kartunnya yang dimuat
di katalog lomba di Belgia mengungkap dua orang pelari yang posisinya saling
berseberangan dan dalam keadaan berjongkok, siap lari.
Keduanya bertubuh kurus kering dan di tengah-tengah tersedia makanan lezat,
sebagai hadiah. Seorang laki-laki, perlente berdiri sambil memegang pistol siap
menembakkan aba-aba. Laki-laki itu tampak sedang sangat gembira menyaksikan
tontonan "memilukan" yang ada di depan matanya.
Ide tersebut di atas, bisa saja diproyeksikan pada situasi semangat
"maniak" negara-negara maju/pemberi donor yang memperlakukan
negara-negara miskin, sebagai obyek "klangenan" mereka. Bisa pula
dihubungkan dengan situasi yang lain lagi. Dan salah satu kartunnya yang
berjudul "Bom Atom Bunga" yang memenangkan lomba kartun internasional
di Korea Selatan itu, sangat tampak kalau dijiwai semangat perdamaian dan
harmoni. Dengan kata lain, kalau toh terjadi sengketa antarnegara, antarbangsa,
lalu situasinya berkembang memanas dan masing-masing negara tak lagi sanggup
menguasai diri; tombol pun dipencet. Tapi ketika bomnya meledak, bukan zat
radio aktif yang menghambur, melainkan bunga yang harum dan elok dipandang.
Begitulah penjelasan Jitet tentang karyanya.
Darminto M Sudarmo, pengamat humor, lawak dan kartun.