Oleh Priyanto Sunarto
Dalam definisi sederhana kartun dapat diartikan sebagai gambar garis yang menyampaikan pesan lucu. Orang sering membedakan kartun dengan karikatur.
Sebetulnya itu hanya distori istilah yang kepalang memasyarakat. Dalam dunia kartun sendiri dikenal istilah: Comic Cartoon, lelucon bebas; Political Cartoon, lelucon politik; Graphic Satire, sifatnya sindiran dan tak selalu gambar garis; Editorial Cartoon, khusus untuk berkala.
Secara teknis tak ada ketentuan mengenai alat dan cara menggarap gambar, kecuali bahwa itu adalah gambar tangan yang menyajikan ungkapan mengenai suatu hal (issue, gossip, trend, fakta) yang terjadi di masyarakat. Untuk memudahkan pembicaraan, baiklah kata kartun saat ini kita artikan sebagai editorial cartoon. Kartun semacam ini punya batasan: Pertama, sejalan dengan kebijakan media; Kedua, kontekstual dengan apa yang terjadi di masyarakat.
Dalam Media Pers
Kartun sering muncul dalam bentuk kartun humor bebas/stopper, kartun ilustrasi naskah, kartun komentar bebas. Bagaimana menggunakannya tergantung kebijakan redaksi. Hal ini menyangkut sifat umum kartun yang ringan, dan gaya ungkap kartun yang sesuai dengan misi media. Biasanya redaksi memperhatikan betul kartun komentar karena sudut tersebut bisa jadi: mencerminkan kwalita media; mencerminkan sudut pandang redaksi; dan merupakan bagian yang peka.
Banyak media memelihara sudut kartun ini sebagai jembatan komunikasi dengan pembacanya. Ini dilakukan dengan menempatkannya di bagian yang tetap, dan gaya gambar, bahkan penggambar tetap. Seperti unsur visual lain, kartun bagi perwajahan sebuah media merupakan ruang bebas menolong kepenatan pembaca. Hal ini disebabkan perbedaan
cara membaca antara teks, tulisan (linear) dengan gambar (total). Dengan cara baca seperti ini, sebuah kartun lebih mudah dicerna
dengan sekali lirik.
Menggarap Kartun
Misi sebuah kartun komentar adalah mengungkap suatu masalah kepada sidang pembaca secara lain. Artinya menghidangkan masalah dari titik pandang yang khas, hingga wawasan masalah tersebut lebih terangkat. Banyak orang berpendapat bahwa kartun harus berani. Ini berarti meletakkan kartunis sebagai martir, atau bahkan sekedar katup pelepas frustrasi saja. Sering kartun semacam ini hanya jadi obat dahaga sekejap dan bersifat bijaksini. Seyogianya seorang kartunis tak terkungkung dalam dalih keberanian sempit ini. Keberanian hendaknya digunakan dalam arti yang lebih luas, karena merupakan senjata yang ampuh bila digunakan secara piawai.
Dalam media pers sebuah kartun mengemban misi: jurnalistik, yang obyektif dan berimbang. Sebuah kartun tidak menggurui, tidak berpikir sempit. Hal ini berlaku pula pada karya jurnalistik tertulis; visual, yang mengikuti hukum-hukum visual tentang garis, bidang, bentuk ruang dan lain sebagainya; dan humor, yang merupakan jembatan komunikasi untuk membuka kontrak dengan pembaca.
Begitu banyak hal yang diperhatikan, dirangkum dan diolah untuk dituangkan dalam sebuah kartun. Tapi dengan makin panjang pengalaman, secara intuitif semua akan mengalir dengan wajar. Tinggal menangkap dan bermain dengan apa yang sedang berkembang di masyarakat.
Beberapa Catatan
Kartun dibuat untuk pembaca media pers kita. Mempertimbangkan bahwa bahasa gambar (benda, aksesori, perumpamaan, lambang) pun harus dapat dimengerti oleh pembaca kita. Pada media pers khusus (sekolah, asosiasi, profesi, kelompok tertentu) kita dapat mengolah materi yang khusus pula.
Pilih sudut pandang masalah dan titik perhatian seminimal mungkin, agar fokusnya dapat ditangkap pembaca. Sebuah masalah memang bisa mempunyai banyak segi menarik. Tapi menuangkan sekaligus ke dalam ruang gambar dapat malah akan mengurangi ketjaman maksud. Ungkapan sederhana yang dapat merangkum masalah, itulah dambaan tiap kartunis.
Sedapat mungkin hindari name-tag dengan menemukan identitas yang sifatnya visual. Atau, mendandani huruf dengan olahan visual yang disesuaikan. Makin sedikit kata makin baik. Sedapat mungkin sebuah kartun dapat mengungkap masalah secara visual saja. Kata/tulisan digunakan hanya untuk mengarahkan pikiran pembaca.
Kartun di media pers akan dilihat oleh ribuan bahkan ratusan ribu orang. Ini menuntut tanggung jawab besar bagi kartunis. Seorang kartunis menyadari bahwa ruang yang disediakan di media bukanlah lapangan main milik pribadinya. Di situ dia berungkap, berolah dan bermain bersama para pembaca.
Dalam mengungkap karya kartun, yang terpenting bukan menunjuk hidung dan mempermalukan seseorang, tetapi mengangkat masalah yang terjadi. Pembaca dipersilakan menafsirkan sendiri masalah tersebut.
Tafsiran pembaca tak selalu sesuai dengan sikap dan pandangan kartunisnya. Ini wajar, dan sebuah kartun tak perlu menyamakan pendapat semua orang. Berbagai kemungkinan tafsiran menggambarkan keluwesan interpretasi sebuah kartun.
Sejarah Kartun/Karikatur
Sekadar ikut meluruskan, karena menyangkut sejarah sepertinya perlu agak pas. Sebetulnya poster protes Martin Luther (reformasi abad XVI) adalah awal dari eksistensi seni cetak, bukan karikatur. Peristiwa itu dianggap sebagai awal kesadaran potensi seni grafis untuk penyebaran faham/ideologi/protes karena, dengan media cetak satu ide bisa dibuat /direproduksi dalam jumlah besar; disebar dan mempengaruhi orang dalam jangkauan yang sangat luas. Di bukunya, “Karikatur dan Politik” kartunis Sibarani (2001) mengulas sedikit hal itu.
Memang betul karikatur dari kata caricarre, abad ke XVI di Italia dipopulerkan keluarga Carracci (Anibale & Agostino) dari Bologna, yaitu gambar yang mempermainkan wajah orang, sebagai perlawanan terhadap estetika masa Renesansa. Yang dipermainkan adalah wajah orang yang dilebih-lebihkan supaya muncul ciri khasnya. Gombrich banyak mengulas ini di bukunya "Art and Illusion" (1960). Pada abad XIX karya-karya Daumier dimuat di majalah La Carricature, Perancis. "Karikatur" Daumier tak selalu menggambarkan distorsi wajah tokoh, kebanyakan isinya mengejek kaum borjuis, mengungkap penderitaan rakyat jelata. Kemudian orang menyebut karikatur sebagai karya yang berisi kritik sosial/politik, seperti arti yang dipakai abad XIX di Perancis.
Kartun semula memang artinya karton (sketsa untuk bikin lukisan dinding). Di Inggris 1841 muncul gambar-gambar yang dibuat ilustrator majalah "Punch" menyindir/mengejek lomba lukisan dinding Balaikota. Majalah itu misinya kritik dan sindiran baik politik maupun ekonomi (borjuis baru, revolusi industri). Lalu orang mulai menyebut kartun untuk gambar sindir begitu. Kata itu sendiri baru populer awal abad XX. Kartun mengartikan gambar garis yang lucu. Kata ini lebih mudah dikembangkan artinya. dengan membubuhi kata sandang bisa mengartikan yang lebih khusus misalnya: political cartoon, editorial cartoon, animated cartoon, gag cartoon.
Perdebatan tentang kartun vs karikatur sudah lama sekali berjalan. Banyak situs kartun/kartunis mengangkat issue ini, mencoba meluruskan. Padahal dua istilah itu memang datang dari tempat yang berbeda. Sibarani membuat definisi sendiri tentang gambar karikatur dan kartun. Menurutnya karikatur sifatnya mengritik, lebih serius, politik, sosial. Kartun sifatnya lelucon biasa tak mengandung bobot kritik. Sepertinya definisi ini menegaskan dari pengertian orang banyak tentang kedua kata itu. Para kartunis senior (Pramono, GM Sudarta, DwiKoendoro, ) selalu mencoba meluruskan bahwa; karikatur adalah distorsi wajah (versi Carracci), dan kartun adalah tentang gambar garis lucu secara umum (Punch). Hingga, dalam satu kartun politik misalnya, bisa saja ada wajah yang didistorsi (karikatur versi Carracci). Namanya tetap kartun politik. Dan ada banyak kartun politik yang tak memuat karikatur. Begitu juga kalau kita iseng membuat wajah teman Dengan didistorsi, kita membuat karikatur, bukan kartun politik. Contoh gampang: GM Sudarta dalam kartun editorialnya di Kompas kadang pakai karikatur untuk wajah tokoh. Saat yang muncul cuma Oom Pasikom dan istrinya atau anaknya, itu bukan karikatur.
Sulit juga untuk me-'lurus'-kan istilah ini. Terlalu banyak orang yang kepalang menggunakan 'karikatur' sebagai gambar kritik politik. Coba tanya mahasiswa/dosen FISIP atau Sospol, karikatur ya artinya gambar kritik politik (saya, Pramono dan GM Sudarta menghadapi kasus begitu di diskusi karikatur Unair 1995). Ada dua istilah dipakai untuk benda yang sama, tapi gimana lagi, dua-duanya punya sejarah yang sahih, jadi biarin saja-lah. Kadang satu kata dalam perjalanan sejarah bisa berubah arti. Komik semula artinya lucu (comical), sekarang berubah jauh jadi buku cergam, gambar berangkai/sequential art, yang seringnya tidak lucu lagi, bisa tragik juga, atau porno...? Kata memang bisa berkembang dan berubah arti karena kebutuhan ataupun kecerobohan, karena itulah kamus terus diperbarui.
Memang sih sebaiknya ada pengertian yang sama tentang istilah supaya tak bingung, setidaknya di kalangan praktisi sendiri, kartunis/karikaturis. Ya kalau mau, sementara pegang istilah baku di kalangan kartunis sendiri, bahwa: kartun = gambar garis lucu, karikatur = distorsi tokoh. (meski 25 tahun terakhir ini ada istilah lain khusus untuk gambar sindir, graphic satire... )
Ya segini dulu lah, takut kepanjangan...
*) Kolom Apresiasi ini sebelumnya merupakan karya yang bertebar dan berupa interaksi dengan sesama penyurat elektronik, kemudian dirangkum Redaksi menjadi wacana yang diupayakan mendekati gagasan utuh penulisnya.
0 comments:
Post a Comment