Tuesday, December 16, 2008

Manusia Kartun Keluyuran ke Neka Art Museum

“Bali is a life Museum”. Pertama kali mendengarnya, saya terhenyak, dan kemudian berpikir. Betapa setiap inci bentuk seni budaya sangat menjadi kebanggaan dan suatu aset yang tak ternilai dan sangat terjaga di Bali. Pande Wayan Suteja Neka, sosok orang yang sangat mendedikasikan dirinya ke dunia seni adalah yang mengatakan kalimat tersebut. Suteja Neka adalah mantan guru, pecinta seni, dan kolektor lukisan, sekaligus pendiri dan pemilik Museum Neka yang berlokasi di Ubud, yang diresmikan 26 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 7 Juli 1982.
Pada acara Penganugerahan Gelar Maestro Augustin Sibarani tanggal 25 Oktober lalu sebagai bentuk apresiasi Museum Kartun Indonesia Bali (MKIB) terhadap karya dan perjalanan hidup Sibarani di dunia karikatur, Suteja Neka menjadi pembuka Pameran Tunggal Augustin Sibarani. Karena merasa sebagai sesama pejuang seni, maka undangan mengunjungi ”rumah seni” Suteja Neka pun terlontar untuk Sibarani.
Menyusuri Jalan Raya Ubud yang sejuk dengan pemandangan yang asri, tiga mobil dari MKIB melaju pelan menuju Museum Neka. Ikut serta mendampingi Sibarani memenuhi undangan Suteja Neka adalah kedua putranya, Gorky Sibarani dan Sanggam Gorga Sibarani; pemilik MKIB, Istio Adi beserta istri; Dewan Museum MKIB, Pramono P.R dan Priyanto Sunarto, masing-masing beserta istri; A.S Kurnia, pelukis; dan terakhir, saya dan 3 orang teman ”seperjuangan” sehari-hari di MKIB.
Setelah menempuh hampir satu jam perjalanan dari Kuta, tibalah rombongan di Museum Neka. Dengan mempertahankan arsitektur khas Bali, tampak dari depan Museum Neka – yang terdiri dari enam buah bangunan – terlihat sangat hangat dan ramah. Rombongan pun memasuki Museum dan langsung menuju ke lantai dua bangunan utama.
Hamparan keris terlihat di ruangan di mana Suteja Neka menyambut kedatangan rombongan. Ternyata ruangan tersebut khusus untuk menyimpan koleksi keris, mulai yang berasal dari kerajaan Bali (Buleleng, Karangasem, dll) hingga Jawa dan Madura. Kebetulan juga di saat yang bersamaan, duta besar Belgia juga sedang mendatangi Museum Neka. Bertemu dengan Sibarani menciptakan antusiasme tersendiri di antara mereka, dan langsung bercakap-cakap akrab.
Dengan senyum ramah tiba-tiba ada seseorang pemandu yang menyapa saya dan langsung menawarkan dirinya untuk menjelaskan keterangan setiap keris. Dia menunjukkan perbedaan karakter antara keris Jawa dengan keris Bali. Keris Jawa lebih ramping bila dibandingkan dengan keris Bali. Selain itu juga mayoritas keris Bali pada bagian gagangnya ditaburi oleh batu-batuan alam. Berbeda dengan keris Jawa yang lebih sederhana.
Suteja Neka mengkoleksi keris yang diciptakan dari masa kuno (dari abad 13, 14) hingga masa setelah kemerdekaan atau yang biasa disebut masa kamardikan. Memang Suteja Neka adalah kolektor keris pertama di Indonesia dan mendedikasikan salah satu ruangan di Museum Neka sebagai ruang pamer koleksi-koleksi kerisnya yang berjumlah kurang lebih 250-an. Ia menyatakan kurang setuju dengan anggapan masyarakat yang melihat keris dengan stigma ”ampuh” ataupun memiliki ”kekuatan mistis”. Justru ia melihat keris sebagai salah satu bentuk karya seni kriya, bukan sebagai senjata ataupun benda bermitos.
Setelah dari ruangan koleksi keris, rombongan mengelilingi Museum Neka yang menyimpan lukisan-lukisan baik dari pelukis legendaris dalam maupun luar negeri. Koleksi lukisan Museum Neka adalah koleksi yang merupakan investasi budaya yang tak ternilai harganya. Mulai dari karya seni pelukis ternama seperti Affandi, Abdul Azis, Nyoman Gunarsa, hingga Arie Smit, Garrett Kam, dan Rudolf Bonnet. Terdapat pula karya seni dari pelukis legendaris Indonesia asal Bali, I Gusti Nyoman Lempad. Museum Neka pun juga memberi ruang bagi berbagai aliran lukisan. Ada gaya Wayang Klasik, Batuan, Ubud, kontemporer Bali, dan masih banyak lagi.
Dari satu bangunan ke bangunan lain terhampar taman yang berumput hijau dan banyak pepohonan, ada bebek-bebek liar berkeliaran yang membuat kesan sejuk dan asri. Di teras salah satu bangunannya terdapat dua orang yang memainkan alat musik tradisional rindik Bali dan pengunjung dapat mencobanya. Akan tetapi bagi orang yang memiliki keterbatasan fisik – seperti Sibarani yang sudah harus menggunakan kursi roda karena faktor usia – agak sulit mobilitasnya karena untuk keluar masuk setiap bangunan menggunakan tangga walaupun cukup landai.
Semua hasil karya seni yang disimpan di Museum Neka tertata dengan apik, yang entah bagaimana caranya, menegaskan dan mengesankan bahwa semua yang terpampang di Museum tersebut bernilai seni tinggi – dan memang begitu adanya. Dan koleksi yang ada di dalamnya akan terus bertambah. Dengan adanya Museum Neka, kesungguhan sosok Suteja Neka dalam pendedikasiannya dalam melestarikan budaya Bali t ak perlu diragukan lagi. (arm/tc)

0 comments:

Post a Comment


AyuWage Services - Get Paid to Visits Sites and Complete Surveys