APA relevansinya kegiatan mengartun anak-anak Kokkang dengan kemenangan Barack H. Obama? Sangat relevan! Obama menggambarkan kegigihan kandidat presiden Amerika yang sejak sekian tahun berjuang keras, praktis dari kondisi nol kilometer hingga mencapai sebuah kondisi yang sangat layak untuk memasuki kompetisi pada tingkat babak final dan akhirnya keluar sebagai pemenang. Sebagai Presiden Amerika Serikat yang paling gress.
Lha, kelompok Kokkang? Walaupun ikut gembira menyaksikan kemenangan dan keberhasilan Obama, kelompok ini tidak mau ikut-ikutan larut dalam eforia berkepanjangan lalu lupa mengutamakan tugas utamanya: mengartun! Ya, menggambar kartun. Forever!
Karena pilihan dan fitrahnya memang sebagai kartunis. Meskipun di Irak masih banyak gejolak, di Afganistan ada ontran-ontran, di Pakistan banyak ledakan, di India terjadi huru-hara, itu semua tidak akan membuat semangat anak-anak Kokkang surut lalu jadi bingung dan tidak dapat melakukan apa-apa, tidak. Anak-anak atau para anggota Kokkang tetap tidak akan pernah lupa dari panggilan jiwanya: menggambar kartun!
Talkshow dan Bursa Kartun Kokkang
Dari tadi bicara soal Kokkang melulu, apa sih sebenarnya “makhluk” yang bernama Kokkang itu? Kokkang (Kelompok Kartunis Kaliwungu) yang didirikan sekitar tahun 1982, kali ini tidak hanya memamerkan karya-karya mereka berupa kartun, tetapi juga dalam bentuk yang lebih bervariasi. M. Syaifudin atau yang lebih dikenal sebagai Ifoed, salah seorang anggota KOKKANG, selepas bekerja dari Majalah HumOr lalu membentuk sebuah unit usaha yang berbasiskan kartun. Usahanya yang bernaung di bawah Communicartoon Studio kini bahkan tidak hanya berkiprah di bidang desain (periklanan/percetakan), ilustrasi buku dan benda-benda merchandise lain, tetapi juga telah merambah ke pembuatan film kartun animasi.
Sebelum Ifoed ada nama-nama seperti Didik Trisnadi yang bergerak di bidang perfilman; khususnya membuat film dokumenter dan iklan. Ada Joko Susilo yang membuat desain dan mencetak T-shirt. Dan saat ini, salah seorang yang paling bersemangat dalam pembuatan desain dan cetak T-shirt adalah Wijanarko.
Salah seorang yang sering menjadi pemenang lomba kartun yang sekaligus juga ilustrator banyak buku adalah Muchid Rahmat. Jadi tidak mustahil bila anggota generasi baru (1990-an hingga 2008) terdapat nama-nama yang karyanya tergolong kuat dan eksis seperti M. Najib, M. Nasir, Wawan Bastian, Muslih, Zaenal, Nazarudin, Asbahar, Tyud, M. Qomarudin, Wahyu Kokkang, Aziz dan banyak lagi lainnya, sangat punya andil besar dalam penciptaan atmosfir dan inspirasi bagi generasi sesudahnya.
Kelompok ini tidak hanya melahirkan kartunis kuat, tetapi juga ada yang jurnalis maupun birokrat. Seperti Odios, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah HumOr; Hertanto Soebijoto, redaktur harian Warta Kota, Nurochim, bekerja di Majalah MOP, dan Prie GS sebagai Pemimpin Redaksi Tabloid Cempaka plus seorang motivator berspirit religiusitas. Sementara Itos, sebagai birokrat (terakhir Kepala Seksi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata) Kab. Kendal; dan Totok Haryanto sebagai aparat desa serta aktif di komunitas semacam LSM Pemerintah. Uniknya lagi, ada juga dari anggota kelompok ini yang kemudian menemukan kenyamanan setelah menyeberang sebagai pelukis; seperti Asep Leoka, Syaiful Ashari dan beberapa yang lainnya.
Pada kesempatan yang khusus tersebut, diadakanlah “Talkshow dan Bursa Kartun Kokkang” yang diwakili oleh Odios, Ifoed, Wahyu Kokkang, Muchid Rahmat, dan M. Nazarudin; sedangkan Tosso kebagian sebagai Juru Potret. Selain dibawas soal latar belakang terbentuknya Kokkang, juga ditampilkan film dokumenter Kokkang, testimoni anggota Kokkang dan film animasi garapan tim yang dikelola Ifoed.
Latar Belakang dan Silsilah Lahirnya KOKKANG
MENURUT Odios, sampai dengan tahun 1979, di Kaliwungu atau bahkan Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, hanya ada satu kartunis; yaitu dirinya. Sekian lama luntang-lantung mengartun sendirian, agak membuatnya sedikit bersalah; karena honor-honor yang masuk lewat kantor pos Kaliwungu hanya dia sendiri yang menikmati. Maka ketika pada tahun 1979-an, bulannya lupa, dia ketemu Itos di kampus IKIP Negeri Semarang dan terjadilah dialog yang intinya Itos pingin banget belajar dan bisa ngartun.
Liburan kuliah, Odios yang ada pekerjaan membuat desain motif batik “Joeni Batik” di Bogor menawari Itos ikut; karena di sana ada banyak waktu luang yang bisa digunakan untuk berlatih menggambar kartun. Itos setuju. Sekitar 10 hari, Itos langsung berubah menjadi manusia baru! Dia langsung menjadi kartunis yang cerdas. Cerdas artinya langsung menemukan corak atau style tokoh yang mewakili dirinya dan ide-ide yang dibuatnya pun tergolong unik dan baru. Tidak tanggung-tanggung, dalam masa latihan di Bogor itu dia langsung dapat menciptakan kartun yang siap dikirim ke media sekitar 75 gambar.
Itu bagian yang sangat penting dari organisasi budaya yang bernama KOKKANG. Karena meskipun sempat beberapa lama mengalami pasang surut dalam berkarya, toh akhirnya wesel honorariun dari media Jakarta datang bertubi-tubi dan membuat Itos nyaris tak percaya, kalau dari corat-coret di kertas seperti itu dihargai cukup layak oleh media.
Maka setelah KOKKANG didirikan (1982) dan kedua kartunis ini mengadakan pameran kartun bersama di Pendapa Kawedanan Kaliwungu, sambutan masyarakat pun sungguh di luar dugaan. Anggota-anggota baru masuk berebutan. Hingga datang tahun 1988, saat yang tak dapat ditolah oleh Odios karena dia harus bekerja sebagai wartawan di Jakarta. Urusan mengenai kelompok ini akhirnya diserahkan total kepada Itos. Dan di bawah pimpinan Itos yang kadang streng tetapi sesungguhnya baik, ada suasana pasang surut; tetapi akhirnya sejarah mencatat, bahwa KOKKANG toh pada akhirnya dapat survive hingga 26 tahun lebih.
Sungguh ini sebuah anugerah yang luar biasa. Kelompok ini tidak pernah puas sampai di sini; mereka tetap punya cita-cita; baik itu menyangkut visi individu maupun kelompok; cita-citanya adalah dapat hidup layak dari keahliannya. Itu mungkin terasa naif, tapi entah bercanda atau sungguh-sungguh, salah seorang dari mereka ada yang nyeletuk pingin jadi bupati. “Aneh, kan kalau ada bupati dari kartunis?” ujar si pemilik keinginan tersebut.
Kartun Berhenti di Kaliwungu
(SEORANG wartawan budaya, Budi Setiyono, yang tergolong cukup intens dan mendalam mengkaji fenomena yang terjadi di komunitas Kokkang, pernah menulis tentang kelompok tersebut di Majalah Pantau dan situsnya pada kisaran bulan Mei tahun 2001. Ia memberi judul laporannya “Kartun Berhenti di Kaliwungu”. Sebuah judul yang membuat kaget para kartunis Kaliwungu sendiri. Kesan yang muncul seolah-olah di komunitas kartunis lain tak kebagian; karena sudah berhenti di Kaliwungu. Tetapi bagaimanapun itu adalah hak dia setelah menyelami sendiri dan sejenak merasakan hanyut dalam pusaran kreativitas yang ada di kelompok tersebut.
Beberapa catatannya yang masih relevan dapat kita cermati dalam kesempatan ini. Antara lain ia melaporkan).
Saya bergegas masuk ke sisi ruang yang digunakan sebagai pusat aktivitas kartunis Kokkang. Di dalamnya ada dua lemari besar berisi buku, katalog-katalog dan penghargaan-penghargaan kartun berjejer rapi. Ada lemari arsip kecil, dan lemari sedang yang digunakan untuk menaruh komputer. Pesawat telepon, buku telepon, buku honor masuk dan kas Kokkang, serta kertas dan koran yang tertata rapi menghiasi meja bercat coklat. Beberapa lukisan tergantung di dinding.
Saya duduk di kursi sofa. Satu-dua air hujan menerobos masuk, dan jatuh menimpa sebuah baskom plastik yang sengaja diletakkan di dekat meja. Saya melongok ke atas. Ada sebuah ruangan berukuran 2,5 x 2,5 meter yang terbuat dari bambu dan beratap seng. Tapi tak ada tangga menuju ke atas --ternyata ruangan itu tak lagi dipakai sebagai sanggar karena lapuk.
Saya masih menunggu pemilik rumah, sambil berpikir seolah tak percaya bahwa dari rumah sederhana ini lahir banyak kartunis yang mewarnai dunia.
Tak lama, deru sepeda motor terdengar lirih. Pengendaranya turun, bergegas masuk rumah, dan menuju ruang sekretariat. "Maaf berantakan. Saya sedang merehab total rumah ini," kata Budi Santoso, yang akrab dipanggil Itos, pemilik rumah, sambil menyalami.
Ia kemudian masuk kembali, dan tak lama kemudian keluar dengan kaos hitam lengan panjang dan sarung kotak-kotak. Laki-laki inilah yang bersama Darminto Masiyo Sudarmo, atau biasa dipanggil Odios, serta Nurrochim, yang mendirikan Kokkang pada awal 1980-an.”
(Pada bagian lain Buset {Budi Setiyono} menggambarkan laporan penelusuran data dan pandangan matanya).
Siapa bisa menebak nasib. Begitu juga Itos tak menyangka pertemuannya dengan Odios bakal mengubah garis hidupnya. Saat itu, tahun 1979, Itos mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Pendidikan Seni Rupa, Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Semarang. Ia berkenalan dengan Odios, yang juga mendaftar di jurusan yang sama. Keduanya berkenalan, dan surprise karena ternyata berasal dari daerah yang sama pula: Kaliwungu. Hanya beda kampung. Itos berasal dari desa Krajankulon, sedangkan Odios dari desa Plantaran.
Pembicaraan pun berlangsung. Saat itu, Odios mengenggam koran mingguan Bahari.
"Apa istimewanya koran itu?" tanya Itos.
"Karena ada kartun saya, Wak Kamal, yang dimuat secara tetap di sini," jawab Odios.
Odios mengenal kartun sejak kelas 2 sekolah menengah pertama. Saat itu ia sudah mengirim kartun ke majalah Stop, tapi ditolak redaksi. Baru ketika kelas 1 sekolah menengah atas kartunnya dimuat majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat. Sedangkan Itos dikenal sebagai dalang cilik.
Itos belum tahu kartun. Karena itu ia menanyakan ini-itu, dan Odios menjelaskannya. Itos mengaku tertarik dan ingin tahu lebih jauh tentang kartun. Odios pun mengundang Itos mampir ke rumahnya. Di rumah, Odios menunjukkan berbagai jenis kartun. Itos makin tertarik, bahkan ingin belajar.”
(Singkat cerita, kisah Buset tak beda dengan penuturan yang telah disinggung pada bab latar belakang berdirinya Kokkang. Nah, bagaimana sejarah berdirinya Kokkang, Buset menggambarkannya demikian).
Tahun 1982, Paguyuban Kartunis Yogyakarta (Pakyo) mengadakan pameran kartun nasional.
“Pameran yang tak dapat mereka ikuti itu membuat mereka iri. "Kami cuma menyantap beritanya dari media massa," kata Odios.
Suatu saat, ketika keduanya hendak ke kantor pos Kaliwungu, tiba-tiba terbersit gagasan untuk membuat perkumpulan sejenis Pakyo. Nurrochim kemudian diajak. Dan lahirlah Komplotan Kartunis Kaliwungu --yang kemudian diganti Kelompok Kartunis Kaliwungu-- 10 April 1982. Markasnya ditetapkan di rumah Itos, yang suka berorganisasi dan senang rumahnya dijadikan markas, di Jalan Boja 106, Kaliwungu.
Menurut Itos, ada sejumlah alasan mengapa Kokkang didirikan. Pertama, awal tahun 1980-an media cetak memberi perhatian cukup besar terhadap sajian kartun. Kedua, ketrampilan mengartun lebih mudah diajarkan ketimbang menulis maupun melukis. Ketiga, honor kartun cukup menggiurkan dan prospeknya cukup menjanjikan. Dan keempat, lingkungan Kaliwungu khususnya warga desa Krajan Kulon yang masih kental dengan budaya kebersamaan, kegotongroyongan, sangat potensial untuk pembentukan paguyuban.
Sementara Odios memandangnya secara sederhana. "Motifnya ya senang-senang dan gagah-gagahan saja," ujar Odios. Kokkang menjadi kelompok kartunis yang pertama di Jawa Tengah.
Untuk menandai deklarasi, digelar pameran kartun di Pendopo Kawedanan Kaliwungu, yang dibuka oleh Jaya Suprana dan Dr. Soewondo PS Art dari Perhimpunan Pencinta Humor, Semarang. "Ibukota Jawa Tengah sebenarnya bukan Semarang, tapi Kaliwungu," kata Jaya Suprana.
Pameran karya Itos dan Odios itu juga merupakan upaya untuk memikat anak-anak muda. Tema-tema kartunnya sederhana (gag cartoon) dengan teknik yang sederhana pula. Itulah pameran kartun kali pertama di Kaliwungu. Dan pameran itu berhasil menarik perhatian para pemuda, yang sebagian besar anak muda putus sekolah. Bergabunglah mereka sebagai anggota Kokkang.
Ketertarikan mereka didukung maraknya media cetak yang memungkinkan keterlibatan kartunis. Ruang untuk kartun melebar, dan itu menjadi tantangan yang perlu disikapi secara profesional. "Sekaligus menjawab tantangan kesulitan tenaga kerja," kata Itos.
Tiap Sabtu dan Minggu, mereka membahas isu-isu aktual sambil mempertajam keterampilan membuat kartun, terutama bagi anggota baru. Jika ada kesulitan mereka berkonsultasi dengan seniornya. "Pendek kata kami sediakan air; mau diminum, mau buat mandi, mau buat cuci muka, terserah, selama itu bermanfaat dan tidak buat mengguyur orang lewat," kata Odios.
Anggota Kokkang yang awalnya terbatas mereka yang bermukim di tiga desa: Krajan Kulon, Kutoharjo dan Sarirejo, kemudian melebar ke desa lain. Bahkan ke luar Kaliwungu. Bisa karena pengaruh keluarga maupun pergaulan.”
(Kokkang pun akhirnya beranak-pinak. Ibarat kelinci, anggota-anggota mudanya rame banget. Setelah melewati sekian waktu, maka Buset pun menggambarkan sebuah peristiwa yang bagi Kokkang dianggap sangat memorable, susah untuk dilupakan).
Oktober 1995, persis tengah malam, sebuah mobil kijang berhenti di pinggir jalan, di depan sekretariat Kokkang. Ada tamu penting yang datang khusus mengunjungi mereka. Seorang bermata sipit, berbadan tegap dan berkaca mata. Dia adalah Kosei Ono, pengamat kebudayaan dari Jepang (penulis dan pengamat humor-Red). Dia diantar antara lain oleh kartunis Priyanto Sunarto, Pramono R. Pramoedja yang juga ketua Persatuan Kartunis Indonesia (Pakarti), Yehana SR (Semarang Cartoon Club) dan Prie GS.
Menurut Pramoedja, kedatangan Ono didahului surat-menyurat lewat email antara dirinya dan Ono. Pramoedja mengatakan bahwa di Indonesia, tepatnya di Kaliwungu, terdapat sebuah kampung seperti di Omiwa, kota kecil di Tokyo, Jepang.
Omiwa adalah perkampungan kartunis, yang penduduknya mengartun karena profesi dan mengirimkan karyanya ke segala macam media. Bedanya, kebanyakan kartunis di Omiwa dewasa dan orangtua. Kartunis di Kaliwungu lebih beragam. Ono penasaran, dan datang ke Indonesia khusus untuk berkunjung ke Kaliwungu.
Markas Kokkang seketika ramai. Dialog pun berlangsung meski menggunakan bahasa Inggris. Ono terkesan, dan menuliskan kesan-kesannya pada sebuah buku berbahasa Jepang. "Kok bisa sebuah kampung dengan masyarakat yang sederhana memproduksi kartun yang disebar ke mana-mana. Dengan manajemen produksi yang juga unik," komentar Kosei Ono seperti ditirukan Priyanto Sunarto.
“Tadinya Kosei Ono mengira Kokkang sebagai sindikat. Karena di Jepang nama Kokkang terkenal. Dan setiap lomba kami mengirim dengan satu alamat, dengan banyak orang,” kata Itos.
Tampaknya masih ada penggalan catatan yang masih ingin disampaikan oleh Buset. Berikut tambahan catatan-catatan tersebut. Ini pun sebenarnya telah melompati sekian banyak masalah penting namun karena alasan halaman tak dapat di-review seluruhnya.
JUMAT, 16 Oktobet 1998. Kesibukan tampak di lobi Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Beberapa karya kartun dipamerkan di lobi hotel, yang akan berlangsung hingga 18 Oktober. Kartun-kartun itu adalah karya para pemenang dan nominator Festival Kartun 1998.
Presiden B.J. Habibie batal membuka pameran. Ketua dewan juri GM Sudarta sibuk mencari tukang koran di depan hotel. Ia memperolehnya. Dua penjual koran kakak-beradik berusia belasan tahun digandeng GM Sudarta menuju lobi, kemudian duduk di kursi undangan. Beberapa saat kemudian, dua anak bersandal jepit itu memukul gong amat keras berkali-kali. Pameran telah dibuka. Para undangan termasuk beberapa diplomat tertawa.
Pemenang festival kartun bertema reformasi yang diselenggarakan oleh SIMA Communications ini bukanlah nama asing di dunia kartun. Juara I direbut oleh Wawan Bastian (Jakarta); juara II H.O. Dipayana (Jakarta); juara III Muhammad Najib (Jakarta); juara IV masing-masing Dendy Hery Hardono (Bandung), Jitet Koestana (Semarang), dan Muhammad Nasir (Jakarta). Mengalahkan 1.600 peserta.
Pemenang pertama, Wawan Bastian, sebelumnya tergabung dalam Kokkang. Dia pernah mengisi kartun-kartun di majalah Humor, dan pernah memenangi berbagai lomba kartun serta pernah mendapat penghargaan dari Jepang dan Belgia. Bastian menjadi pemenang dalam festival ini dengan karya berjudul “Reformasi Terpecah”. Di situ digambarkan para demonstran dengan membawa huruf masing-masing "R-E-F-O-R-M-A-S-I" berjalan sendiri-sendiri ke berbagai arah. Ada dua nama kartunis lain yang berasal dari Kokkang, yakni Najib dan Jitet Koestana.
Menarik, komentar GM Sudharta dan Wahyu Sardono sebagai dewan juri mengenai karya-karya yang dipamerkan itu. Seperti dilaporkan Kompas, mereka berpendapat, persoalan para kartunis tetap persoalan klasik, yakni kurang kaya dan kurang kuatnya gagasan. Meski dari segi gambar beberapa di antaranya menunjukkan goresan yang kuat.
Beberapa karya kartunis Kokkang, terutama yang masih tinggal di Kaliwungu, dianggap slapstick. Itu juga diherankan Syahrinur Prinka dari majalah Tempo. Menurutnya, meski ada beberapa yang bagus, tapi secara hasil masih standar. “Standar itu lucu. Daya pikir untuk lucu masih ada pada gambarnya, tapi bukan apa yang di belakangnya. Selain gambar, mestinya ada yang dibelakangnya,” ujarnya.
Prinka juga melihat belum ada karya Kokkang yang menonjol. “Dalam artian, belum ada karya yang menonjol karena individualitasnya kuat,” imbuh redaktur senior majalah Tempo ini.
Gag cartoon lebih menonjol ketimbang editorial cartoon. "Mungkin belum, dan belum ada sarana yang bisa memberikan masukan. Pembuat kartun dapat masukan. Pramono, GM Sudharta punya sarana, dapat masukan. Sedangkan mereka (Kokkang) bikin apa yang teringat, kirim," ujar Prinka yang penasaran dan tertarik untuk berkunjung ke Kaliwungu.
Kartunis tetap Suara Merdeka, Prie GS, memandang sisi eksklusivitas editorial cartoon yang tak tersentuh mereka karena ketergantungan media pada kartunis tetap. Dan alasannya masuk akal, media butuh untuk menciptakan maskot, dan kedua butuh silaturahmi teknis; policy media.
Namun ia juga melihat anggota Kokkang, bahkan yang senior pun masih pada strategi yang sama, bacaan dan konvensi-konvensi yang sama, tak beranjak dari tahun 1990-an di era gag cartoon. Padahal tantangan makin baru, dan selera humor juga mulai berubah. “Anggota Kokkang yang ke Jakarta yang tertolong,” ujar Prie GS yang kini memimpin redaksi Cempaka Minggu Ini (Suara Merdeka Group) sambil menambahkan gag cartoon hampir selesai, dan ruang media juga mulai berkurang.
Menurut Pramono R Pramoedja, untuk membuat editorial cartoon, paling tidak kartunis harus berjiwa wartawan. Dan itu tidak dimiliki kartunis Kokkang. Mereka hanya menangkap situasi politik, ekonomi dan sebagainya dari koran. “Kokkang baru pada segi-segi yang humoris, lucu dan menggelitik. Belum yang sakartis, meski tragis,” ujar Pramoedja.
Pramoedja juga menolak ketergantungan pada media. Kartun editorial juga bisa dibuat untuk pameran, koleksi, atau buku.
Tak semua kartun Kokkang slapstick. Priyanto Sunarto tak setuju generalisasi. Meski kartun yang dibuat rata-rata kartun genre atau lelucon sehari-hari tapi tak selalu slapstick (banyolan fisik). "Kan yang bikin sekampung dengan umur, status, profesi dan gender yang berbeda-beda," katanya.
Editorial cartoon, sambung dia, juga berkembang di antara anggota Kokkang. Ia menceritakan pengalamannya membuat pameran Kartun untuk Demokrasi (KuD) selama dua kali. KuD-1 tentang pemilihan umum dan KuD-2 tentang wakil rakyat, diikuti banyak peserta dari Kaliwungu. "KuD-2 malah 40% peserta dari situ. Dan hasil mereka juga bagus-bagus."
Sunarto membandingkan dengan kartun editorial di Jepang yang tersisih dari komik atau manga dan kartun-strip humor. “Di Indonesia masih lumayan diperhatikan. Ada kolom khusus kartun politik di media. Di Jepang orang sudah jenuh kerja, maunya mencari hiburan yang antara lain dengan kartun," kata dosen Institut Teknik Bandung ini.
Odios juga melihat kurangnya iklim apresiasi dan penghargaan di Indonesia yang bisa menopang kartunis hidup layak. Peran media juga amat terbatas. "Nah, kalau tidak ada yang memberi kesempatan, apa harus slonang-slonong. Kan lucu. Media itu penting karena itu ladangnya. Benih kacang tak mungkin tumbuh di udara," ujar Odios berkelakar. Ia kini bekerja di studio kecil di rumahnya; menulis buku, melukis, menulis cerita lucu untuk televisi dan sesekali menulis kolom untuk surat kabar/majalah.
Ide kartun anggota Kokkang bervariasi, dari yang sederhana hingga rumit yang membutuhkan perenungan. Ide bisa muncul ketika melihat kartun-kartun di media maupun katalog-katalog, yang kemudian dikembangkan dalam tampilan yang baru. Acap kali ide juga muncul ketika kartunis sedang dalam proses berkarya. Dari satu ide, muncul ide lanjutannya. Umumnya, tema-temanya berkutat seputar kehidupan sehari-hari. “Kartun itu humor yang universal, apa saja bisa diangkat menjadi kartun,” kata Itos.
Cara lainnya lewat perenungan ketika kekeringan ide atau mencari ide untuk mengikuti lomba yang cenderung tematis. “Meski tematik, katalog atau lomba di luar negeri juga kebanyakan gag cartoon, bukan kartun cerewet,” kata Abidin yang sudah memenangi lima penghargaan internasional.
Kartunis muda Kokkang menyebut editorial cartoon sebagai kartun cerewet yang harus dijelaskan dengan kata atau kalimat.
Pada 23 April 2000, dua anggota Kokkang membuat acara syukuran. Mereka menjamu teman-temannya dari Kokkang dengan hidangan nasi tumpeng dan jajan pasar. Sebuah acara yang rutin dilakukan kalau ada kartunis Kokkang yang mendapat hadiah uang cukup besar.
Keduanya adalah Zaenal Abidin dan Mohammad Muslikh yang baru saja memenangi The Yomiuri Shimbun International Cartoon Contest Tokyo Japan yang diselenggarakan koran Yomiuri Shimbun. Abidin meraih hadiah "Special Prize Selection Committee" dengan karyanya Pintu, dan berhak meraih hadiah: 200.000 yen atau sekitar Rp 13,4 juta. Sedangkan Muslikh memeroleh hadiah "Excellent Prize". Ia mengantongi uang 100.000 yen atau sekitar Rp 6,7 juta.
Kokkang selalu langganan menang di lomba kartun, baik nasional maupun internasional. Menurut Itos, sekitar 15 anggota Kokkang rutin meraih penghargaan. Mereka selalu ikut pameran atau lomba di Jepang, Korea Selatan, Turki, Belanda dan Belgia. Karya yang mereka kirim sesuai tema dan ketentuan penyelenggara; kekerasan, hak-hak asasi manusia, pemilihan umum, banjir, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Para anggota paguyuban kartunis ini sudah ikut lomba di luar negeri sejak 1986. Dan hampir tiap tahun ada saja kartunis dari kampung ini berhasil menggondol juara.
Hingga kini, setidaknya 100 penghargaan internasional sudah teraih. Jumlah hadiahnya lumayan besar, dan dalam mata uang asing pula. "Dengan memenangi berbagai macam lomba kartun di luar negeri, kami ikut berperan sebagai duta dalam diplomasi kebudayaan," kata Itos yang kini bekerja sebagai penilik kebudayaan di Departemen Pendidikan Nasional Kabupaten Kendal. Itos pernah meraih hadiah tujuh kali di luar negeri: Jepang (4), Turki (2) dan Korea Selatan.
Setiap tahun selalu ada undangan lomba dari mancanegara. Selain Yomiuri Shimbun, juga ada The Manga Cartoon Exhibition Hokaido Japan, Sport Chosun International Cartoon Contest Seoul of Corea, Internationaal Cartoonfestival Knokke Heist (Belgia) atau International Nasreddin Hodja Cartoon Contest (Turki). Namun kini, mereka selektif untuk mengikuti lomba. Acuannya adalah berapa hadiah yang panitia lomba sediakan. “Jepang wajib, lainnya sunnah,” kata Abidin, yang masuk Kokkang tahun 1994.
Karya-karya mereka juga menghiasi katalog-katalog kartun dalam dan luar negeri.Dari kampung kecil di Jawa Tengah, Kokkang menjadi duta kesenian Indonesia di mancanegara. Nama Indonesia pun harum bak melati, tanpa mengeluarkan kocek. Sementara di Indonesia sendiri ruang mereka makin sempit. Setidaknya makin sedikit media yang menyediakan ruang kartun. “Kami sudah biasa dikemplang media. Pernah juga tak dibayar,” kata Itos yang pernah meraih Rotary Club Semarang atas pengabdian masyarakat terhadap kebudayaan, tahun 1997.
Artinya, masih panjang pencapaian yang mesti diraih. "Itu soal paradigma. Ketergantungannya terhadap media massa sangat besar," ujar Odios mencoba berotokritik.
Malam makin larut, dan hujan mulai kelelahan. Sambil memamerkan karya-karyanya yang berjumlah ribuan, Itos bersuara lantang tanpa kesan meratap. "Penghargaan terhadap kartunis di Indonesia amat kurang. Pemerintah hanya mendata dan tak pernah melakukan pembinaan. Ibarat mau merumput, saya tak dikasih sabit," katanya.
(Buset pun mengakhiri penuturannya). ***